Korupsi Para Begawan

ImageBerita Koran Tempo (3/6) yang melaporkan temuan Inspektorat atas dugaan Korupsi di Kementerian Pendidikan & Kebudayaan menarik untuk diulas. Berdasarkan laporan Inspektorat, ada intervensi pejabat Kementerian dalam beberapa proyek EO yang dimenangkan oleh perusahaan yang berafiliasi dengan yayasan milik Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Dari kasus-kasus korupsi lain, kasus ini terbilang “tidak biasa”. Kasus ini terjadi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang seyogianya menjadi ‘benteng moral’ perlawanan terhadap korupsi (kampus). Tidak hanya itu, kasus ini juga menyeret Wakil Menteri yang notabene adalah seorang cendekiawan kampus, terlepas dari jabatannya sekarang di pemerintahan.

Selain itu, kasus ini melibatkan yayasan yang, menurut penuturan Wamen, didirikan oleh dosen-dosen untuk keperluan pembuatan master plan, pelatihan, dan kajian pariwisata. Tanpa kita kaitkan dengan korupsi pun, hal ini menunjukkan bahwa relasi antara ‘pengetahuan’ dan ‘kekuasaan’ saat ini sudah sangat akut.

Oleh sebab itulah, problem korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini perlu ditelaah secara lebih serius. Mengapa kini kampus sangat mudah terperosok pada godaan-godaan proyek bisnis dan kekuasaan, sebagaimana terpotret dalam kasus Wamen di atas? Pertanyaan tersebut bisa dijawab dari dua sudut pandang: ‘moral’ atau ‘ekonomi politik’.

Saya akan mencoba mengupasnya dari sudut pandang kedua. Persoalan ‘begawan’ yang korup ini tak lepas dari masuknya logika pendidikan kita pada spektrum ekonomi-politik Indonesia saat ini: ‘liberalisasi’ dan ‘komodifikasi’ pendidikan. Sejak tahun 2000, pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia mengalami proses yang disebut oleh Kementerian Pendidikan sebagai ‘Reformasi Pendidikan Tinggi’ (Higher Education Reform).

Gagasan tentang ‘reformasi pendidikan tinggi’ ini dengan baik diutarakan oleh Satryo Brodjonegoro (2012). Gagasan tentang ‘reformasi pendidikan tinggi’ lahir dari kebutuhan untuk merespons adanya kebutuhan industri (pada spektrum yang lebih luas: pasar) untuk melakukan ‘konvergensi’ dengan pengetahuan.

Oleh sebab itu, menurutnya, ‘pendidikan tinggi’ sebagai salah satu proses dalam produksi pengetahuan yang beroperasi pada skala global. Universitas menjadi semacam ‘holding institution’ yang bekerja dalam produksi pengetahuan. Universitas setidaknya punya dua peran penting: pertama, untuk mencetak ‘tenaga kerja’ yang siap dikaryakan dalam industry; serta kedua, menghasilkan riset yang berguna untuk memecahkan masalah industri.

Oleh sebab itu, diperlukan semacam Quality Control untuk memastikan universitas bisa mencetak produk yang baik (‘produk’ di sini adalah mahasiswa). Oleh sebab itu, demi Quality Control, perlu ada reposisi mengenai peran negara dalam pengelolaan dan pembiayaan pendidikan tinggi.

Agenda ‘reformasi’ tersebut dapat disarikan ke dalam 4 hal: Pertama, mendorong diferensiasi Institusi PT, Kedua, mendorong diferensiasi pendanaan dari publik; Ketiga, mendefinisi ulang peran pemerintah; Keempat, memperkuat peran swasta (private institutions) dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Oleh sebab itu, reformasi pendidikan tinggi di Indonesia dimulai dari adanya proses pemberian otonomi pada tujuh institusi pendidikan tinggi negeri di Indoesia dalam wujud “Badan Hukum Milik Negara” (BHMN). Konsep yang dilandasi oleh PP No. 61/1999 ini memberikan otonomi bagi perguruan tinggi untuk membiayai pendidikannya secara mandiri tanpa subsidi dari pemerintah.

Konsekuesi dari status BHMN tersebut adalah melonjaknya biaya kuliah di tujuh kampus tersebut, yang membuat seorang calon mahasiswa harus merogoh koceknya lebih dalam untuk bisa berkuliah. Pemerintah memang punya peran: yaitu menyediakan beasiswa bagi yang ‘kurang-mampu’.

Dari sini, kita bisa membaca secara kritis. Pemaparan Satryo Brodjonegoro tersebut memberikan kita sebuah kesimpulan bahwa agenda ‘reformasi pendidikan tinggi’ ditanamkan di atas diskursus tentang ‘kedaulatan pasar’. Reformasi pendidikan tinggi menjadikan ‘pengetahuan’ sebagai komoditas; Pengetahuan adalah sesuatu yang bisa diakumulasikan dan mendapatkan keuntungan bagi pemilik modal. Di sini, negara adalah mediator dari proses akumulasi kapital tersebut dengan menyediakan fasilitas-fasilitas.

Atas logika itulah, menurut Satryo, reformasi pendidikan tinggi  di Indonesia digulirkan. Dengan bantuan Bank Dunia, reformasi pendidikan tinggi dimulai pada tahun 1996 melalui proyek DUE yang melakukan reformasi kelembagaan di pendidikan tinggi. Agar pendidikan tinggi compatible dengan tren perkembangan pasar global, universitas harus dilepaskan dari pembiayaan negara dan bisa mencari dana sendiri melalui partnership.

Pada titik itulah gagasan mengenai ‘otonomi’ muncul. Dengan adanya otonomi, kampus dilepaskan dari pembiayaan negara dan lembaga-lembaga yang menyediakan dana untuk penelitian muncul.

Akan tetapi, konsekuensi dari otonomi lebih luas itu. Adanya otonomi membuat pembiayaan pemerintah terhadap universitas berkurang. Akibatnya, kita mendapati akademisi-akademisi yang akhirnya menjadikan urusan pengetahuan sebagai urusan bisnis. Pada titik tertentu yang ekstrem, aktivitas ini bisa berujung pada pengerjaan proyek-proyek pemerintah yang tidak steril dari korupsi.

Kasus Direktorat Kebudayaan di atas bisa menjadi contoh. Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa sebuah yayasan yang didedikasikan untuk kajian pariwisata mengurusi proyek anggaran? Motif di sini jelas: uang.

Otonomi pendidikan tidak hanya membuat kampus menjadi terbuka, tetapi juga mengakibatkan kucuran dana untuk melakukan  penelitian (dari negara) menjadi berkurang. Padahal, akademisi perlu ruang aktualisasi melalui riset.Karena kebutuhan untuk mengaktualisasikan pengetahuannya itulah, akademisi perlu sumber dana. 

Karena subsidi dari pemerintah sudah dipotong, sumber apa lagi yang bisa digunakan? Dalam titik yang paling ekstrem: anggaran negara menjadi medan yang bisa dikuasai. Padahal, medan politik Indonesia, termasuk politik anggaran, adalah medan yang sarat oligarki (lih. Hadiz dan Robison, 2004). Inilah yang menyebabkan para “Begawan” sekalipun bisa jatuh ke lubang korupsi.

Dengan demikian, kita bisa melihat bahwa otonomi pendidikan tinggi dalam beberapa hal akan berdampak pada korupsi. Hasil audit BPK di UI dan UGM setahun silam bisa menjadi refleksi: otonomi ternyata tidak diikuti oleh pengelolaan keuangan yang akuntabel dan transparan dari institusi pendidikan tingginya.

Jika logika ini diteruskan, akankah kita menemukan para “Begawan” di kampus, yang mengajarkan pengetahuan untuk kemuliaan dan kemajuan bangsa? Saya takut, otonomi kampus hanya akan menjadikan para intelektual kampus sebagai ‘pekerja pendidikan’, bukan lagi sebagai “Begawan” yang punya kewajiban mendidik mahasiswa dan mencerdaskan rakyat.

Maka ada baiknya otonomi pendidikan tinggi dipertimbangkan kembali. Sebab, kita punya tujuan pendidikan yang sangat mulia di UUD 1945: “mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum”.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s