“Anarchy is what the state makes of it”, tulis ilmuwan Konstruktivis Alexander Wendt dalam artikelnya yang terkenal di tahun 1992. Politik internasional, selama bertahun-tahun, dikaji melalui satu sudut pandang yang khas: politik antarnegara. Hal ini tentu tidak secara kebetulan terjadi Sejak dirumuskan di Westphalia pada tahun 1648 dan studi HI mulai diperdebatkan di awal abad ke-20, ‘negara’ menjadi bahan perbincangan yang dominan.
Teori Hubungan Internasional modern memang ditandai oleh satu variabel khas: “negara” (state). Antonio Negri dan Michael Hardt (2000) mencatat bahwa modernisasi yang dibawa oleh Eropa bergantung, salah satunya, pada konsepsi tentang ‘negara-bangsa’. Dalam struktur keilmuan HI yang sangat positivistik, mengutip Joseph Femia (2008), konsepsi negara diterima secara a priori. “Sovereign states are, and will remain, the primary actors in international affairs”, tulisnya. Negara sudah bagaikan alpha dan omega dalam studi Hubungan Internasional modern.
Sehingga, teorisasi mengenai politik internasional pun takkan lepas dari perbincangan mengenai negara -sesuatu yang akan coba diurai dalam tulisan ini.
Pentingnya negara tersebut menimbulkan pertanyaan lanjutan: mengapa dan bagaimana posisi penting ‘negara’ dalam teori hubungan internasional itu muncul? Secara filosofis, munculnya negara sebagai tolak ukur ‘moralitas’ tumbuh seiring dengan modernisasi. Passage of Modernity, ungkap Negri dan Hardt, lahir dari krisis, peperangan, yang di kemudian hari melahirkan negara. Hobbes yang telah meletakkan fondasi ‘negara’ sebagai perwujudan individu, dengan konsepsinya tentang ‘state of nature’. Kedaulatan yang diakui dalam politik internasional adalah kedaulatan ‘negara’. Namun, Hobbes yang sangat skeptis terhadap moralitas menuding bahwa tidak ada ‘moralitas’ yang mewujud dalam negara.
Pada titik inilah, beberapa pemikir seperti Grotius atau van Purfendorf tampil dengan tesis baru mereka: ‘moralitas’ dalam politik internasional itu ada, tetapi terinstitusionalisasi dalam hukum yang mengatur negara-bangsa.
Fixing International P0litics: Posisi Penting Negara
Mengapa ‘being a state’ itu penting dalam international politics? Dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, kita menghadapi fenomena banyaknya aspirasi untuk ‘merdeka’ alias mendeklarasikan diri sebagai ‘negara bangsa’. Sejak perjanjian Westphalia dideklarasikan pada tahun 1648 hingga perang dunia kedua, tercatat hanya ada 40 negara yang secara formal diakui di dunia. Kini, ada 197 negara (menyusul Palestina) yang diakui sebagai ‘negara-bangsa’ sah oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Apa artinya? Dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, Kita menghadapi ekspansi yang begitu kuat dari Negara- Negara bangsa. Dunia telah ‘dipecah’ oleh Negara-negara, dan melihat ekspansi dari Negara-negara bangsa, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menghalangi aspirasi untuk merdeka. Pergaulan antar-bangsa, dari sejak perang dunia berakhir hingga sekarang, dideterminasi oleh pergaulan antar-‘negara’. Tanpa menjadi sebuah negara, mustahil hak-haknya sebagai ‘individu dalam politik internasional diakui dan diterima dalam pergaulan internasional. Sehingga, Being a state menjadi sebuah cara untuk mendapatkan pengakuan sebagai sebuah entitas politik dalam politik internasional.
Dari sini, kita mendapatkan sebuah proposisi penting: status sebagai Negara merdeka adalah “something” dalam international politics. Salah satu perubahan terbesar dalam sejarah manusia adalah terbentuknya Negara (state). Pergaulan antar-bangsa mengakui hanya ‘negara’ dalam interaksi dan arena pergulatannya. Dengan demikian, dunia diidentifikasi hanya oleh satu forma identitas: “state”. United Nations menyajikan sistem identifikasi tunggal dalam memahami politik internasional, yaitu “State” dengan dua prinsip: (1) Self-Determination; dan (2) Non-Intervention. Prinsip pertama berarti hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak kedua yaitu tidak ada kekuatan lain yang berhak untuk mencampuri urusan sebuah negara kecuali negara itu sendiri.
Dari sini, kita menemui satu fakta menarik: Negara sebagai unit politik memiliki basis moralitas, yaitu “sesuatu yang tak bisa terelakkan sebagai norma dalam Hubungan Internasional. Kita akan mulai dari satu hal: sentiment kebangsaan. Sentimen kebangsaan menjadikan Negara sebagai sumber kekerasan. Kekerasan yang berhubungan dengan ‘negara-bangsa’ muncul dari dua bentuk berbeda: (1) Upaya untuk mencapai kemerdekaan (struggle for independence); dan (2) Upaya untuk mempertahankan kemerdekaan. Dengan adanya ‘negara’, kekerasan menjadi legal. Akan tetapi, dengan adanya ‘negara’, kekerasan juga menjadi ilegal jika tidak sesuai dengan basis normatif ‘negara’. Transformasi ‘negara’ sebagai basis moralitas inilah yang menjadi standing position bagi Grotius untuk merumuskan tesisnya tentang hukum internasional sebagai acuan bagi ‘negara-bangsa’ untuk melakukan aktivitas dan interaksinya.
Lantas, mengapa konsep “Negara-bangsa”, secara konseptual, menjadi konsep yang sangat dominan dalam politik internasional? Atau, mengapa “Negara-bangsa” menjadi konsep yang sangat dominan untuk menjelaskan hubungan-hubungan antarbangsa?
Why Modern States? Negara dan Imaji tentang Modern Individual
Imaji tentang “Negara” berawal dari konseptualisasi mendasar mengenai modern individual, yang dicirikan oleh beberapa hal: (1) Independent (bebas); (2) Willing (berkemauan); dan (3) Self-interested (punya kepentingan sendiri). Konsekuensinya, institusi politik yang menjadi institusi kolektif dari modern individual tersebut menjadi cerminan dari modern individu tersebut. “Modern State” adalah refleksi dari individu-individu yang modern tersebut.
Dalam teori politik, ada dua cara yang digunakan untuk melihat proses transformasi dari individu modern tersebut menjadi institusi kolektif yang modern.
Pertama, ‘Negara’ sebagai pelindung kebebasan. Modernisasi meletakkan negara sebagai alat untuk melindungi kebebasan manusia. Jika dibandingkan sebelumnya (pra-modern), semua institusi kolektif pra-modern menempatkan individu subordinated terhadap kekuasaan. “Negara adalah saya”, kata seorang raja di Perancis yang akhirnya dilengserkan oleh Revolusi Kaum Borjuis., Negara terpersonalisasi dalam konteks “siapa yang berkuasa”. Dalam konteks Negara modern, Negara tidak sama dengan pemerintah. Negara adalah simbol dari kebebasan individu, dan jika negara men-subordinasi kebebasan, dalam argument John Locke, maka hak untuk melakukan revolusi atas Negara menjadi terbuka.
Kedua, ‘Negara’ sebagai refleksi dari kebebasan berserikat. Pada titik inilah argumen mengenai “kontrak sosial” (Rousseau) masuk. Negara menjadi institusi yang sakral. Dalam argument ini, menghancurkan Negara berarti menghancurkan kebebasan masyarakat. Dalam posisinya sebagai pelindung kebebasan masyarakat, secara konseptual, Negara menjadi penting. Negara menjadi pelindung dari hak untuk berserikat, berorganisasi, serta mengartikulasikan kepentingan politiknya. Dari sinilah, negara penting untuk menjaga agar hak warga negara untuk berpolitik bertahan.
Pada titik ini pula, muncul paradoks. Negara ternyata tidak hanya berfungsi sebagai refleksi dari kebebasan berserikat, tetapi, secara fethish, juga menjadi senjata dari kepentingan tertentu yang lahir justru dari entitas negara itu sendiri. Negara berubah menjadi ‘kepentingan’ itu sendiri oleh aparatusnya. Atas nama ‘kebebasan’, hak untuk membunuh juga muncul. Negara menjadi institusi yang sah untuk mengirimkan individunya untuk membunuh orang lain, justru atas nama kebebasan. Seperti kata Giorgio Agamben (1998), terjadi situasi di mana seseorang menjadi legal untuk dibunuh, salah satunya atas nama kebebasan (Homo Sacer). Paradoks ini mengemuka ketika Amerika Serikat menyerang Afghanistan dan Iraq justru atas nama kebebasan dan demokrasi. Dalam bahasa Mahmood Mamdani (2010), responsibility to protect, dalam level-level tertentu, justru berubah menjadi rights to punish atau rights to kill.
Secara filosofis, keberadaan Negara tak lepas dari konseptualisasi mengenai “individu yang merdeka”. Moralitas Negara adalah “kemerdekaan”. Akar pemikirannya dapat dilacak dari diskursus liberal mengenai modernitas, yang meletakkan kemerdekaan sebagai basis dari interaksi manusia.
Moralitas Negara, Kemerdekaan, dan Munculnya ‘Hukum’
Ada dua konsepsi mengenai kemerdekaan (freedom, liberty). Isaiah Berlin (Two Concept of Liberty) menyebut dua hal yang berbeda mengenai kemerdekaan. Pertama, Kebebasan negatif. Istilah ini tercermin dalam istilah “Don’t touch me, leave me alone”. Seseorang dikatakan “bebas” jika ia tidak dihambat secara fisik oleh orang lain. Konsep ini melahirkan terminologi “non-intervensi” dalam konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kedua, Kebebasan positif. Istilah ini berarti “Kebebasan untuk melakukan sesuatu”. Seseorang dikatakan “bebas” jika ia bisa memilih tindakan secara sadar. Konsep ini melahirkan terminologi “self-determination” dalam konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konseptualisasi Berlin mengenai dua bentuk kebebasan tersebut kemudian diadopsi dalam dua prinsip penting United Nations tentang Negara: non-intervention dan self-determination. Konsepsi inilah yang dipegang sebagai tolak ukur kemerdekaan dalam pergaulan internasional antar-bangsa saat ini.
Kemerdekaan kemudian diikat oleh hukum internasional. Pada titik inilah international politics diinstitusionalisasi oleh discourse tentang Negara. Apa implikasinya? Secara politik, Negara menjadi actor yang sangat dominan dalam hubungan internasional. Secara moral, Negara tidak hanya menjadi institusi yang legal dalam menggunakan kekerasan, tetapi juga menjadi standard moralitas dalam hubungan internasional.
Bagaimana hal ini beroperasi? Kita bisa melihat the use of coerce (penggunaan kekerasan) yang secara legal hanya dimiliki oleh negara. Sebagai salah satu contoh, kita bisa melihat diskursus tentang perang. Dalam proposisi “Negara sebagai standard moralitas”, berarti ada pengaturan tentang perang. Perang menjadi sesuatu yang legal, tetapi ia harus diatur melalui kesepakatan antara Negara yang satu dengan Negara yang lain. Pada titik inilah konsepsi ‘hukum internasional’ itu muncul.
Grotius bercerita banyak tentang the rights to peace and war. Perang dan Damai diatur melalui regulasi yang ketat. Secara lebih luas, Negara menjadi standard of civilization. Negara menjadi tolak ukur ‘mana yang beradab’ dan ‘mana yang tidak’. Sebagaimana konsepsi umum tentang modernitas, negara mengeksklusi setiap discourse yang tidak sejalan dengannya. ‘Negara’, jika meminjam Laclau dan Mouffe (1985), menghegemoni pemaknaan tentang politik internasional. Negara adalah perwujudan modernitas.
Gagasan ini akan sampai pada pembicaraan mengenai Negara sebagai pelindung kemanusiaan. Negara melindungi hak-hak yang dimiliki oleh manusia. Masyarakat yang berada dalam status Negara adalah mereka yang memiliki hak-hak istimewa. Gagasan ini melahirkan konsep mengenai human rights. Negara harus melindungi hak-hak warga negaranya. Oleh sebab itu, jika hak manusia dilanggar, Negara akan memiliki hak untuk melakukan humanitarian intervention.
Pada titik ini, kita akan bicara mengenai kolonialisme. Gagasan mengenai modern state adalah refleksi dari modern individual. Individu yang tidak modern, tidak bisa diatur oleh Negara. Mereka yang tidak modern kemudian menjadi sub-human, mereka yang tidak memiliki hak untuk secara kolektif menjadi state. Cara berpikir saat itu adalah kesederajatan dan keberadaban. Mereka yang tidak modern adalah mereka yang tidak sederajat dengan mereka yang modern –gagasan ini dibongkar oleh Edward Said sebagai project of Orientalism. Dengan cara berpikir ini, kolonialisme menjadi sesuatu yang tidak bermasalah, karena relasi mereka bukan dengan human –dalam kerangka modernitas, tetapi dengan sub-human. Negara mengeksklusi tradisionalitas dalam kerangka diskursif ‘kolonialisme’.
Seiring dengan munculnya kritik terhadap modernitas –juga kritik terhadap kekerasan yang dilakukan oleh ‘negara’ baik dalam bentuk aneksasi ke negara lain maupun terhadap rakyatnya, yang ironisnya terjadi atas nama hukum, mulai muncul gagasan-gagasan lain yang menempatkan moralitas universal sebagai standard perilaku antar-bangsa, alih-alih meletakkan perhatian yang begitu besar pada ‘negara’. Gagasan inilah yang membawa kita pada wacana besar tentang ‘kosmopolitanisme’.
Bahan Bacaan
Agamben, Giorgio, 1998, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, Stanford: Stanford University Press.
Beitz, Charles R. 1978, Political Theory and International Relations, New Jersey: Princeton University Press.
Berlin, Isaiah, 2002, Liberty: Incorporating Four Essays on Liberty, Oxford: Oxford University Press.
Femia, Joseph, 2008, “Gramsci, Epistemology, and International Relations” Political Studies Association Conference, Swansea, April 1-3.
Grotius, Hugo, 2005, The Right of War and Peace, Book 1-3, Liberty Fund Inc.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe, 1985, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical and Democratic Politics, London: Verso.
Mamdani, Mahmood, 2010, Savior and Survivors: Darfur, Politics, and The War on Terror, Cape Town: HSRC Press.
Negri, Antonio dan Michael Hardt, 2000, Empire, London: Verso.
Rousseau, Jean-Jacques, 1998, The Social Contract or Principles of Political Right. Translated 1782 by GDH. Cole. http://www.constitution.org/jjr/socon.htm
von Pufendorf, Samuel, 1991, On the Duty of Man and Citizen According to Natural Law, Cambridge: Cambridge University Press.