Gerakan Islam dan Gerakan Kiri

ImageDalam diskusi tentang media kiri yang digelar kawan-kawan Gerakan Literasi Indonesia tadi malam, ada yang menarik, bahwa dalam sejarahnya, perkembangan gerakan kiri di Indonesia justru bermula dari organisasi pergerakan Islam yang pertama: Sarekat Islam.

Ini bukan dongeng. Sejarah mencatat bahwa apa yang disebut dengan Partai Komunis Indonesia justru merupakan sebuah faksi “Merah” dari Sarekat Islam Cabang Semarang. Para pegiatnya adalah aktivis buruh kereta api yang dipimpin anak muda bernama Semaoen.

Memang ada orang-orang Belanda seperti Sneevliet, Bergson, dan lain-lain yang membawa Marxisme dari Hindia-Belanda, tetapi ranah gerak dan pengorganisasian aktivis Komunis Indonesia justru diartikulasikan melalui Sarekat Islam. Ini bukanlah infiltrasi atau entrism, sebab beberapa aktivis Komunis seperti Semaun justru sudah bergabung dengan SI sejak 1914 (ketika ia berumur 15 tahun), sebelum kenal Sneevliet di Semarang.

Tak hanya itu, ada orang muslim taat seperti Haji Misbach, redaktur ‘Islam Bergerak, yang tanpa tedeng aling-aling menyatakan bahwa muslim sejati adalah ‘komunis’. Konon, orang-orang Sumatera Barat yang bergiat dalam pergerakan kiri zaman itu juga muslim taat (Tan Malaka dikabarkan hafizh Al-Qur’an, wallahu a’lam).

Ini sekaligus menepis tudingan orang-orang FPI: bahwa orang-orang komunis itu bukan muslim. Nyatanya tidak juga.

Dan itu bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Mesir, dalam sket yang sedikit berbeda, Hasan al-Banna juga pada awalnya punya basis yang sangat kuat dikalangan buruh dan punya saham yang cukup besar dalam pergerakan buruh di Mesir. Kendati jargon-jargon yang dibawa oleh Al-Ikhwan adalah jargon-jargon moral dan mereka menolak Komunisme sebagai weltenschaaung umat, sentimen mereka terhadap kapitalisme yang dibawa oleh kolonial Belanda sebetulnya nafasnya sangat “Kiri”, semisal merefleksikan ‘kebutuhan kaum buruh’ dan ekonomi umat yang ditindas oleh imperialisme Inggris.

Pertanyaannya, mengapa ada persinggungan antara gerakan Islam dan gerakan kiri pada awal-awal zaman pergerakan? Dan mengapa semakin hari, persinggungan itu kian jauh?

Saya mencoba untuk mengatikannya dengan perkembangan kapitalisme di Indonesia di era 1900-an.

Kalau merujuk pada analisis Farchan Bulkin, kapitalisme yang hadir di Indonesia bukanlah kapitalisme yang digerakkan oleh perubahan dari dalam seperti di Eropa (digerakkan oleh kaum Borjuis), melainkan digerakkan dari luar. Ia menyebutnya sebagai ‘kapitalisme pinggiran’. Modal akan digerakkan dengan lebih mudah oleh mereka yang kuat, dan pada era itu, ditopang oleh struktur ekonomi dari luar (Belanda).

Konsekuensinya ada tiga: (1) tipikal kapitalisme di Indonesia bersifat oligarkis; (2) konsolidasi modal didorong dari luar; dan (3) borjuis kecil akan tereksploitasi karena mereka tak punya pegangan modal yang kokoh. Inilah yang menumbuhkan gerakan-gerakan Islam.

Pada awal-awal pergerakan, gerakan Islam punya perhatian yang sangat kuat dalam penguatan organisasi dan perluasan basis. Sudah barang tentu, yang disasar adalah basis-basis buruh (ketika kapitalisme baru saja tumbuh di Indonesia waktu itu) dan kaum tani, di samping juga borjuis kecil dan saudagar-saudagar batik yang kalah saing dari pengusaha cina atau konglomerat perkebunan Belanda. Saudagar batik lokal, waktu itu, mengalami marjinalisasi akibat dominasi pedagang-pedagang Cina -mencerminkan ciri kapitalisme yang didorong dari luar dan oligarkis.

Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam, adalah pengusaha batik yang menghimpun para usahawan Muslim untuk bersatu melawan Cina. Ia bergerak dari Solo dan memobilisasi para pedagang lain via Sarekat Dagang Islam. Tokoh gerakan Islam lain, Tjokroaminoto, punya basis pengorganisasian tani yang cukup kuat. Ia terkenal bukan hanya karena pandai mengorganisir masyarakat, tapi karena ia juga adalah ‘mentor’ dari tiga tokoh gerakan terkemuka di kemudian hari: Semaoen (PKI), Soekarno (PNI), dan Kartosoewirjo (DI).

Wajar jika orang-orang kiri memandang pergerakan Islam waktu itu sangat progresif dan punya basis massa, sementara mereka juga punya cara yang relatif tak berbeda dalam mengorganisasi massa.

Dari sinilah, gerakan Islam dan gerakan kiri punya jalan yang sama. Keduanya beriringan, walau pada perkembangannya, pertentangan ideologi menimbulkan sedikit keretakan. SI Merah dikeluarkan, lahir PKI, dan terjadilah pemberontakan 1926 yang gagal itu. Munculnya PKI, tak bisa tidak, tak lepas keberadaannya dari gerakan Islam di awal-awal masa kebangkitan Indonesia.

Tahun 1945, Indonesia merdeka. Setelah penjajah diusir, siapa yang dilawan? mungkin dulu masih ada kapitalis Cina. Para pengusaha Cina masih mendominasi struktur ekonomi nasional. Tapi, secara internasional, ada sedikit perubahan sket. Mao memimpin Cina dan menjadikan negara tersebut komunis. Secara politis, ini signifikan. Karena Cina punya hubungan baik dengan Sovyet, dan PKI ‘taat’ dengan qiyadah-qiyadahnya di Komunis Internasional, jalan mulai bersimpang. Apalagi, dengan beberapa kebijakan macam banteng, kapitalisme lokal mulai terkonsolidasi.

Perkembangan tersebut menempatkan umat Islam berada pada posisi yang berbeda; masuknya elit-elit Masyumi ke level politik kenegaraan menjadikan diskursus Islam tentang ‘negara’ jadi sangat berbeda. Politisi-politisi Masyumi ini, berbeda dengan Samanhudi, Tjokroaminoto, atau Muis yang kuat basisnya dulu, berasal dari kaum inteligensia kelas menengah yang relatif otonom terhadap modal (tidak melakukan akumulasi), tapi ditopang oleh suplai ‘modal’ baik melalui negara (Pegawai Negeri) ataupun sponsor.

Inteligensia jenis ini sangat ‘modernis’ dalam beragama dan senafas dengan ‘semangat kapitalisme’ Weberian. Sehingga, ada perbedaan titik singgung dengan pengorganisasian yang dilakukan PKI di desa-desa maupun kantong-kantong buruh. Ketika Orde Baru melibas PKI, umat Islam modernis ini ada bersama para tentara. Jalan semakin bersimpang. Dan akhirnya, hingga kini, setelah Orde Baru mendemonisasi PKI dengan ‘ateisme’ atau sejenisnya, kedua gerakan ini jarang sekali bertemu.

Akan tetapi, bukannya tidak mungkin ada pertemuan. Konsolidasi kapitalisme di era neoliberal, menjadikan ‘negara’ sebagai fasilitator utama dari pertumbuhan kapitalisme yang berpusat di luar (mengandalkan investasi asing). Situasi yang tak jauh berbeda dari masa kolonial. Neoliberalisme mengimplikasikan adanya tarikan modal asing, menggempur baik kelompok tani, buruh, maupun borjuis-borjuis kecil.

Ketika saat ini kapitalisme sudah mulai membabi-buta, melibas baik gerakan kiri maupun gerakan Islam (dalam beberapa kasus di Timur Tengah), kedua gerakan jenis ini (Islam dan Kiri) mesti insyaf dan mengingat kembali sejarah masa lampau. Bahwa dulu, ada semacam titik temu ketika gerakan Kiri dan Islam Indonesia berkumpul dalam keluarga yang sama.

Mungkin KAMMI, yang paling muda dalam tradisi intelektual dan pergerakan Islam, bisa memulai kembali ‘islah’ ini. Setidaknya, mungkin, dengan melupakan luka sejarah yang tidak diwariskan kepada para aktivis mudanya, dan melihat bahwa di masa depan, musuh yang akan dihadapi sebetulnya tidak jauh berbeda.

Hal ini bisa terwujud, selama gerakan (mahasiswa) Islam mampu keluar dari patronase alumni dan senior, kembali pada kesadaran organiknya: memperjuangkan kelas yang tertindas…

Wallahu a’lam bish shawwab.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s