300: Bicara Teori HI dalam Film

themistoclesKETIKA film 300: The Rise of an Empire baru dirilis ke pasaran bioskop Indonesia, saya menduga film ini akan punya tipe tak jauh beda dengan pendahulunya, 300. Saya tidak salah. Ketika kemarin menonton, film ini langsung membuat saya akrab dengan logika yang dibangun dalam alur cerita.

Dua tahun lalu, ketika menjadi tutor di mata kuliah Teori Politik Internasional, saya iseng-iseng memutarkan film 300, dipadu dengan Troy, sebagai media untuk mengenalkan logika skeptisisme moral (yang sentral dalam realisme) kepada mahasiswa. Film 300 memang sangat khas realis. Dari awal film, alur cerita sudah menampilkan gaya militaris yang memang tidak percaya dengan diplomasi, persatuan global, atau basa-basi politik. Yang ada hanyalah kekuatan.

Eitsss…. tunggu dulu! Bagaimana film 300 dan sequelnya yang baru saya tonton kemarin bisa dilihat dari sudut pandang HI? Saya akan menjabarkan alur ceritanya dan memberikan sedikit cerita mengenai bagaimana film tersebut bisa linked dengan perdebatan-perdebatan teoretik yang ada dalam Ilmu Hubungan Internasional.

Dari Thermopylae ke Salamis
300 adalah film epik sejarah. Tapi yang namanya film, tentu saja tidak sepenuhnya ‘sejarah’ yang ditampilkan. Ada semacam konstruksi di balik pemutaran kembali sejarah Yunani dalam film itu; ini sudah lama diperingatkan oleh almarhum Stuart Hall -bahwa di balik media audiovisual (televisi, film, dll) ada konstruksi-konstruksi yang perlu diurai karena menyimpan bias-bias tertentu.

Film 300 menceritakan pertempuran di “Gerbang Panas” Thermopylae, ketika Leonidas, raja Sparta, membawa 300 prajuritnya untuk menghadapi 10.000 tentara Persia yang dipimpin oleh raja Xerxes, putera Darius. Kisah ini sebetulnya adalah ‘pemutaran ulang’ Pertempuran Thermopylae yang diceritakan Herodotus (semua kisah ini adalah dari lisan Herorodotus).

Dalam film, 300 pasukan ini berjuang hingga titik darah penghabisan menghadapi pasukan Yunani. Sudah tentu mereka akan kalah. Tapi, mengikuti Herodotus, kekalahan mereka bukan disebabkan oleh jumlah, melainkan oleh pengkhianatan seseorang bernama Ephialtes, yang memberikan informasi mengenai strategi orang-orang Yunani kepada Xerxes dan berakibat pada pengepungan.

Film sequel-nya bercerita tentang pertempuran Artemision dan Salamis yang terjadi bersamaan dengan pertempuran di Thermopylae. Kali ini, aktornya adalah prajurit angkatan laut Athena (negara-kota yang digambarkan demokratis) pimpinan Themistocles. Ketika Sparta bertempur di Thermophylae, Athena menghadang kapal-kapal Persia di Teluk Artemision.

Seperti 300, pertempuran tidak berjalan mulus pada awalnya karena persoalan jumlah. Namun, Themistocles adalah ahli strategi ulung, khas Athena (dalam mitologi Yunani, Athena adalah dewi strategi dan kebijaksanaan). Mereka bisa menahan pasukan Persia yang jauh lebih besar secara jumlah, walaupun harus mengalami kekalahan. Karena kekalahan ini, pasukan Persia bergerak dan berhasil menaklukkan Athena.

Setelah kekalahan di Artemision, Themistocles ke Sparta dan menemui Ratu Gorgon, isteri Leonidas. Awalnya, Sparta menolak membantu Athena karena gagasan soal ‘persatuan Yunani’ yang ditolak mentah-mentah Sparta; Mereka menganggap bahwa kemerdekaan dan ‘kepentingan nasional’ Sparta jauh lebih penting (ini akan mengantarkan kita pada debat soal realisme).

Akhirnya, Themistocles berjuang sendirian di Teluk Salamis dan menantang pasukan Persia. Tak disangka-sangka, bantuan datang di Akhir. Pasukan Sparta datang dan membawa sekutu-sekutu dekatnya: Thebes, Delphi, dan kota-kota Yunani lain. Pertemuan Salamis dimenangkan dan, disebut-sebut dalam sejarah Barat, sebagai penanda awal mula peradaban Barat.

Lantas, apa yang menghubungkan 300 dengan Ilmu Hubungan Internasional, yang konon pertama kali ditubuhkan oleh Professor E.H. Carr di Universitas Aberyswyth, Wales, UK? Saya akan mendiskusikan hal ini secara lebih jauh.

Realisme vs Liberalisme
Namun, 300 tidak sekadar menampilkan sejarah Yunani yang dikemas dalam film. Ia juga menampilkan banyak hal lain. Saya ingin melihat hal ini dari sudut pandang Hubungan Internasional. Setidaknya, 300 menyajikan imaji mengenai bagaimana ‘negara’ berperilaku dan bagaimana ‘Barat’ memandang sesuatu ‘Yang-Lain’ dari dirinya sendiri.

Film 300 menyajikan gambaran tentang dua bentuk negara: ‘Sparta’, negara militeris yang gemar berperang, dan ‘Athena’, negara demokratis yang dianggap paling beradab. Sejak awal, Sparta sudah digambarkan dengan tesis-tesis dasar realisme a la Hans J. Morgenthau: negara yang selfish, berorientasi kuat pada kepentingan nasional mereka, tidak percaya pada asumsi norma yang universal, dan menjunjung tinggi balance of power.

Hal ini terlihat sejak sekuel pertama: Leonidas membunuh semua utusan Persia yang menawarkan ‘perdamaian’ sebagai kedok penaklukkan. Tak hanya itu, 300 juga menelanjangi nature dari negara: bahwa negara itu pada hakikatnya ingin menguasai negara lain yang lemah, dan satunya jalan untuk menandinginya adalah dengan membangun keseimbangan kekuatan. Itulah yang dilakukan oleh Leonidas: sebelum orang-orang Persia sampai ke Sparta, ia menghadang mereka di Thermopylae.

Ini seperti kata pepatah lama: si vis pacem para bellum. Kalau Persia ingin damai, setidaknya berperang dulu di Thermopylae.

Nah, film sekuelnya menawarkan perspektif baru: Athena. Orang-orang Athena percaya pada demokrasi, pada ‘Yunani yang damai melalui persatuan dan kerjasama’. Tidak ada raja; yang ada ialah politisi yang hobi bertengkar. Inilah yang bisa Themistocles, seorang politisi berlatarbelakang militer yang berada pada dilema ini. Ketika Dewan Kota bertengkar apakah harus angkat senjata atau berdamai, ia datang ke Sparta untuk meminta bantuan. Tentu saja ia ditolak; Sparta terlalu realis untuk percaya pada ide-ide Themistocles untuk membangun kerjasama regional menghadapi Persia.

Berbeda dengan Sparta yang sangat ‘gahar’, Athena percaya dengan diplomasi. Satu adegan menggambarkan ini: Themistocles menjawab permintaan Jenderal Artemisia untuk berunding, walaupun diplomasinya gagal. Kegagalan diplomasi inilah yang mengakibatkan kedua pasukan kembali bertempur. Kenneth Waltz, seorang proponen utama Neorealisme mungkin tepat menggambarkan hal ini: perang itu terjadi semata karena tidak ada yang dapat mencegahnya!

Tapi ada satu hal menarik di sini. Meskipun pada akhirnya juga pakai senjata (karena yang ditampilkan adalah sosok Themistocles yang memang seorang militer), Athena percaya pada ide-ide dan norma internasional. Ia tidak seperti Sparta yang hanya percaya pada kekuatan; mereka juga percaya bahwa ada cara lain di luar perang untuk menciptakan perdamaian. Maka dari itu, Athena percaya bahwa membangun kerjasama akan bisa menuju jalan yang lebih damai.

Athena dan Sparta mengingatkan kita pada perdebatan besar pertama dalam Teori Hubungan Internasional: realisme vs idealisme. Perdebatan yang terutama mengemuka pada tahun 1920an hingga Perang Dunia II ini memang ‘dimenangkan’ oleh para realis. Walaupun membuka pintu negosiasi, perang tetaplah perang. Dan ketika berhadapan dengan ‘musuh’, senjata adalah jalan terbaik untuk menghancurkannya.

Orientalisme dan Masalah yang Tidak Selesai
Akan tetapi, 300 tidak sekadar menyajikan debat antara realisme dan idealisme. Ia juga mengandung hal lain: bagaimana Yunani memandang Persia, atau dalam spektrum yang lebih luas, bagaimana Barat memandang Yang-Lain.

Harus diakui, suka atau tidak, 300 dibuat dalam perspektif yang sangat Eurocentric. Cara pandangnya sangat khas: memandang ‘Barat/Yunani’ sebagai pelaku utama, pelaku yang benar, dan pelaku yang layak dikenang karena mengandung nilai-nilai kepahlawanan yang hebat. Hal ini dibangun atas relasinya dengan Yang-Lain, dalam hal ini: Persia/Timur.

Edward Said sudah mengupas kecenderungan ini dalam bukunya yang sangat terkenal: Orientalisme. Menurut Said, karya-karya Barat tentang Timur selama ini dibuat dalam bias yang sangat hebat: untuk menunjukkan subjek tentang Barat yang superior dan Timur yang Barbar. 300, ironisnya, masih mengidap hal semacam ini. 300 dan sekuelnya ingin menunjukkan bahwa Yunani/Barat adalah bangsa yang beradab (sekuelnya diberi judul: The Rise of an Empire), sementara Persia/Timur adalah Barbar.

Hal ini ditegaskan dalam penggambaran yang sangat bias dan biner. Xerxes (Raja Yunani) digambarkan sebagai raja yang lalim, pengikut aliran sesat, telanjang, dan haus kekuasaan (tidak jelas dari mana hal ini diambil). Begitu juga dengan pasukannya. Sementara itu, Leonidas digambarkan sebagai pemimpin yang adil, suami yang bertanggung jawab, dan panglima yang gagah berani. Di sekuelnya, hal semacam ini juga ada. Artemisia digambarkan sebagai pengkhianat bangsa, pelacur, Kingmaker berdarah dingin, sementara Themistocles adalah ahli strategi yang andal dan pemimpin yang cerdas dan punya sense of belonging yang tinggi.

Tentu saja, hal ini masih bisa dikritisi. Tapi, sadarkah kita bahwa penggambaran semacam ini juga terjadi dalam Ilmu Hubungan Internasional modern?

Perdebatan-perdebatan tentang realisme dan idealisme, pada dasarnya, adalah perdebatan yang dibingkai dalam lensa yang sangat Eurocentric dan Orientalis. Bingkai semacam ini akan menjadi semacam ‘camera obscura’ -meminjam Marx- ketika melihat subjek lain di luar Eropa: ‘Arab’ atau ‘Afrika’, misalnya. Kajian Rita Abrahamsen dan James Ferguson mengurai bias semacam ini ketika mengkaji Afrika. Cara pandang Hubungan Internasional ‘modern’ melihat Afrika sebagai subjek yang harus dibentuk, dibina, dan diatur sedemikian rupa dengan teknologi-teknologi tertentu yang dianggap modern (dan pasti dari Barat), sehingga menciptakan relasi yang biner: ‘Barat’ sebagai ‘Yang-Maju’ dan ‘Afrika’ sebagai ‘Yang-Terbelakang’.

Konsekuensinya, cara pandang semacam ini gagal memahami resistensi dan perlawanan. Realis akan menganggap perlawanan sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional, dan orang-orang liberal akan melihatnya sebagai kegagalan negara. Solusi yang ditawarkan menjadi sangat parsial dan salah arah: yang satu menggunakan pendekatan keamanan, yang lain menggunakan pembangunan, pemilu, demokrasi, dan sebagainya yang tidak menjawab akar persoalan sebenarnya.

Sejauh ini, dengan pendekatan yang mereka anut, 300 gagal menjawab satu pertanyaan penting: mengapa Persia menyerang Yunani? Jika membaca kembali sejarah (yang sayangnya, dibuat dalam perspektif Yunani melalui tuturan Herodotus), penjelasannya akan lebih kompleks dari sekadar raja yang lalim atau hasrat Xerxes untuk menguasai Yunani. Penjelasan 300 simplistis: melihat bahwa akar persoalannya hanya kelaiman dan oleh sebab itu Persia harus dihancurkan sampai ke akar-akarnya.

Jika Ilmu Hubungan Internasional modern gagal menjawab pertanyaan yang sama, akademisi dan mahasiswa HI juga akan gagal menjawab pertanyaan lain yang lebih kompleks. Seperti, misalnya, mengapa Rusia menyerang Ukraina? atau mengapa sejauh ini Suriah gagal diselesaikan konfliknya selama bertahun-tahun? Tanpa melihat dari sudut pandang Suriah, akademisi HI akan terjebak pada jawaban yang keliru, dan akan berimplikasi pada pilihan kebijakan yang keliru pula dari pejabat pemerintah yang membaca tulisan-tulisan tentang HI.

Mengapa Tidak Ada Teori HI yang Bukan Barat?
Why is there no Non-Western IR Theory? Amitav Acharya dan Barry Buzan bertanya pada salah satu buku yang mereka edit. Kesimpulan mereka, perlu ada perakaran yang lebih luas (wider rooting) dalam teori-teori Hubungan Internasional pada subjek yang lebih luas. al ini bukan berarti ‘Barat’ perlu disingkirkan dalam teori Hubungan Internasional. Hanya, dalam argumen mereka, perlu cara pandang alternatif dalam memandang fenomena-fenomena Hubungan Internasional; cara pandang yang merefleksikan Subjek Timur untuk memandang apa yang terjadi di Timur, bukan cara pandang Barat atas Timur.

Cara pandang semacam ini hanya bisa ditemukan dmelalui pembicaraan yang lebih luas dan spesifik mengenai Teori Hubungan Internasional. Oleh sebab itu, diskusi atau pembicaraan tentang teori bukannya tidak penting. Tanpa mempelajari teori, akan susah bagi kita untuk membuka tabir idelogis yang selama ini menghantui para penstudi HI ketika bicara soal isu-isu yang dianggap ‘terbelakang’ dalam kacamata Barat.

Ala Kulli hal, film 300: The Rise of an Empire cukup perlu untuk ditonton, terutama oleh mahasiswa HI. Minimal, untuk membuka perspektif, bahwa HI sejatinya lebih tua dari sekadar Westphalia atau Aberyswyth. Syukur-sykur jika ada yang menulis kritik yang lebih tajam dengan perspektif yang lebih canggih!

Tabik!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s