Berhubung saat ini saya sedang selo (baru memulai studi secara ‘resmi’ pekan depan dan masih dalam tahap settlement), mungkin ada baiknya saya menulis-nulis sederhana saja. Sedikit cerita tentang bagaimana saya tiba-tiba mendapati diri saya kembali pergi ke negeri seberang untuk meneruskan ‘pertapaan’ dengan kedok ‘PhD’ – walau masih ‘jomblo #eh.
Saya agak kaget dan tidak menyangka-nyangka ketika bulan Oktober lalu saya menerima satu email pendek dari University of Queensland: “Your Application has been successful”. E-mail itu masuk ketika saya masih berada di Lund, Swedia, uintuk satu Konferensi dan saya membuka e-mail itu bahkan sebelum waktu Subuh -saya masih agak jetlag. Saya setengah tidak percaya. Bukan cuma karena e-mail itu masuk secara mendadak, tapi juga karena saya sudah agak lupa dengan aplikasi PhD saya ke UQ -saya mendaftar di bulan April tanpa kejelasan dari Graduate School.
Dan saya lebih tidak percaya lagi ketika membaca isinya. Normalnya Letter of Offer hanya ada satu, tapi saya malah dapat tiga: satu Offer untuk studi, dan dua offer lain yang menerangkan kalau saya dapat beasiswa dari University of Queensland. Artinya sederhana: saya harus cepat-cepat pindah ke UQ awal tahun ini. Dan masa itu adalah masa peak aktivitas kantor: ada dua laporan riset yang harus saya selesaikan, presentasi-presentasi, hingga tugas-tugas administratif akhir tahun. Alhamdulillah, semua hampir rampung di akhir tahun sebelum saya berangkat ke Brisbane.
Terus terang, saya sendiri tidak menyangka akan berangkat secepat ini. Tahun 2017 bisa dibilang penuh penantian dan ketidakpastian. Saya memang sudah berniat untuk PhD sejak akhir masa studi saya di Inggris, mengingat program Master saya yang agak tanggung: Politics with Research Methods. Kuliah saya mayoritas adalah Teori dan Metodologi, dan tugas terakhir saya di kampus (selain Disertasi, tentu saja), adalah menulis proposal PhD. Saya menduga program ini sebetulnya dibikin untuk mahasiswa yang berniat menempuh program 1+3 (Satu Tahun Master dan Tiga tahun PhD) dan sudah dapat beasiswa dari ESRC. Saya juga bingung kenapa saya diterima, padahal beasiswa saya cuma buat Master setahun.
Jadi, daripada ‘nanggung’, saya mengirimkan proposal PhD saya ke beberapa dosen di Inggris dan mendapatkan jawaban dari dua orang: satu di Edinburgh, satu lagi di Sussex. Saya memilih Sussex. Hasilnya positif: selepas revisi proposal dan wawancara dengan dua orang calon pembimbing, saya mendapatkan Letter of Offer. Tapi tetap saja TANPA beasiswa.
Jadi, saya tetap harus mencari siapa yang mau mendanai riset saya yang agak kurang ‘berkontribusi’ untuk kemajuan bangsa ini. Nah, jadi tetap saya kesimpulannya saya harus pulang dan mengabdi. Selepas kembali dari studi tahun 2016 itu, saya dihadapkan beberapa pilihan: mau bekerja di mana? Melakukan apa? Saya sudah memantapkan hati untuk menjadi peneliti, tapi dimana? Jakarta? Yogyakarta? atau Banjarmasin?
Beruntung beberapa pekan sebelum kembali ke tanah air, saya mendapatkan satu hibah penelitian kecil dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk meriset Muhammadiyah di Kalimantan Selatan. Saya menggunakan riset kecil ini, terutama, untuk pulang kampung ke Banjarmasin. Selepas mendarat di Banjarmasin, saya langsung menemui beberapa pengurus Muhammadiyah Wilayah untuk mengurus perizinan -dan mengerjakannya selama dua pekan setelahnya. Lucunya, ketika mengurus perizinan, saya dikira mahasiswa yang lagi penelitian Skripsi oleh Bapak-Bapak Pengurus PWM (mungkin saya awet muda, hahaha).
Tapi tetap saja saya masih kurang betah di Banjarmasin. Bisa jadi karena saya terlalu lama ‘madam’ di tanah orang sehingga malah saya tidak punya info lowongan pekerjaan di sini (selain juga, karena saya terlalu sering dapat pertanyaan yang bikin galau, hahaha). Saya memutuskan kembali ke Yogyakarta, dan langsung klop di kantor lama saya, ASEAN Studies Center. Jadilah saya menulis laporan riset di Yogyakarta, sembari mempersiapkan satu proposal riset dan mengerjakan beberapa kegiatan di ASC.
Awal tahun 2017, saya mendapati diri saya menjadi Sekretaris Eksekutif ASC -posisi yang sepertinya kurang terlalu ‘pantas’ untuk bocah ingusan yang baru lulus kuliah seperti saya (apalagi dengan fakta lain: IPK S1 saya pas-pasan dan kurang layak untuk jadi akademisi, hehehe). Aktivitas di ASC hampir melupakan minat saya untuk PhD. Di sini, selain menunaikan tugas administratif di kantor, saya lebih banyak disibukkan oleh riset dan tulis-menulis. Apalagi, tahun ini saya harus mengerjakan 4 riset selama setahun, yang banyak mengorbankan pikiran, tenaga, dan perasaan (#eh). Ditambah lagi ternyata penyedia beasiswa saya sebelumnya mengubah kebijakan untuk beasiswa lanjutan, jadilah saya fokus mengabdi untuk ilmu pengetahuan saja (yang mungkin dipandang kurang berkontribusi pada negara karena kurang mentereng).
Awal April 2017, tidak disangka-sangka, proposal riset kolaboratif yang saya ajukan bersama seorang kolega dari University of Melbourne lolos dan didanai oleh satu lembaga di Australia. Ini project internasional pertama yang berhasil kami gol-kan selepas saya pulang ke Indonesia. Iseng-iseng, saya mengirimkan proposal PhD saya kepada kolega tersebut. Ia memberikan saran: hanya ada satu Profesor di Melbourne yang cocok membimbing risetmu (yang ternyata juga lagi banyak bimbingan mahasiswa), tapi ada beberapa dosen lain yang mungkin cocok di… University of Queensland!
Jadilah saya mulai memutar orientasi dari Inggris ke Australia. Di University of Queensland, prosedur pendaftaran beasiswa agak berbeda dengan kampus lain. Di sini, kita tidak melamar ke calon supervisor, melainkan ke Postgraduate Director. Saya kirimkan proposal beserta beberapa dokumen lain ke dia, dan beberapa hari kemudian saya mendapatkan email dari seorang Profesor yang sepertinya tertarik dengan riset saya. Gayung bersambut. Saya merevisi proposal saya (di sela-sela waktu kantor, tentu saja), dan kembali ke dia dalam waktu kurang lebih satu bulan. Dia agak puas dengan proposal saya yang terbaru, dan dengan sedikit revisi minor di akhir, saya kembali ke Postgraduate Director dengan dukungan seorang calon supervisor.
Prosesi formal untuk aplikasi pun dimulai. Ketika saya bertanya tentang beasiswa, dia cuma menjawab sederhana: “Ada sih, tapi beasiswa kami terbatas dan cenderung kompetitif. Mending kamu cari sumber dana lain dulu, kayak AAS atau LIPI”. Tapi saya tetap ngeyel. Di formulir aplikasi, saya tetap mengajukan beasiswa -sekecil apapun kemungkinannya untuk lulus. Saya cuma berpikir sederhana: kalau toh gagal, mungkin Offer-nya berguna untuk aplikasi beasiswa lain.
Lalu tidak disangka-sangka juga, penyedia beasiswa lama saya mengeluarkan kebijakan baru soal beasiswa lanjutan. Saya sudah menyiapkan semua berkas, kecuali satu dokumen: Letter of Offer! Masalahnya, Letter of Offer saya di Sussex sudah hampir expired (dan tidak bisa di-defer lagi) plus Offer dari Queensland tak kunjung datang. Aplikasinya tetap saya ajukan da hasilnya sesuai dugaan: saya tidak lolos seleksi administrasi. Saya cuma tertawa: mungkin ini bukan jalannya.
Dan karena Letter of Offer itu tidak kunjung datang, saya sudah hampir melupakannya. Di bulan Oktober, saya berkesempatan berkunjung ke Swedia untuk hadir di satu Konferensi besar, dan di sana saya janjian dengan dua profesor di Lund University: satu di Faculty of Law dan satu di Department of Political Science. Saya sudah mulai berpikir untuk melirik Swedia sebagai alternatif ketiga: siapa tahu saya bisa apply entah ke Lund atau Stockholm – kebetulan saya juga sedang riset bersama satu lembaga di Lund untuk satu riset tentang Kerjasama Lingkungan ASEAN.
Lalu tanpa disangka-sangka, tibalah Offer yang tidak disangka-sangka itu. Lengkap dengan beasiswa dan asuransi. Masalahnya, saya harus segera berangkat bulan Januari 2018. Jadilah saya habiskan tiga bulan di kantor dengan terengah-engah: menyelesaikan laporan, presentasi, seminar, hingga SPj akhir tahun. Belum dengan pindah-pindah barang ke Banjarmasin yang juga tidak mudah (dan tidak murah). Plus dengan satu fakta lain: yaitu mungkin sudah nasib saya untuk single selama setahun ke depan (#ups).
Pada akhirnya, PhD memang tidak mudah dan butuh perjuangan. Memulai PhD saja sudah perlu perjuangan. Tapi tentu saja itu bukan apa-apa. Ada 3-4 tahun penentuan yang harus kita hadapi, bisa jadi tanpa anak dan istri (lha saya nikah saja belum), dengan risiko pekerjaan yang ditinggalkan (saya malah belum jelas pekerjaannya, hehehe) dan kultur belajar mandiri yang harus segera kita atur (dan tentu saja berbeda dengan mahasiswa Master yang sudah ‘diatur’ agendanya oleh kampus).
Dan mereka yang PhD tidak semuanya mereka yang jalannya ‘lurus’ atau hidupnya penuh dengan kesuksesan. Ada yang PhD karena memang itulah jalan yang terbaik bagi mereka. Saya sendiri tidak qualified ketika mendaftar jadi dosen di satu kampus ternama, aplikasi beasiswa saya ditolak-tolak, dan tulisan saya malah lebih sering dapat rejection dari editor jurnal daripada revise and resubmit. Banyak teman lain yang lebih beruntung dalam soal menjadi dosen, aplikasi beasiswa, hingga menulis di jurnal internasional. Termasuk, mungkin, dalam soal perjodohan (errr…)
Pada akhirnya, PhD itu soal pilihan: bagi mereka yang memang ingin mendedikasikan hidup pada ilmu pengetahuan, PhD bisa jadi keniscayaan. Ia bukan sesuatu yang ‘wah’, karena setiap peneliti pada akhirnya ya harus belajar untuk riset secara mandiri, sistematis, dan terukur. Dan PhD bisa jadi cuma awal untuk melakukan itu semua. PhD hanya jalan pembuka untuk menjadi ilmuwan: pada akhirnya, apa yang kita lakukan setelah PhD-lah (jika berhasil lulus dengan selamat dan sejahtera) yang akan menentukan seberapa besar perubahan yang bisa kita bawa untuk masyarakat kita.
Saint Lucia, 3 Januari 2018.