Catatan Harian #PhDJomblo (4): Apa Iya Post-Strukturalisme mengantarkan kita pada “Masyarakat Pasca-Kebenaran”?

Salah satu pertanyaan yang merebak di era ‘post-truth’ ini adalah: apakah kita perlu menyalahkan ‘post-modernisme’ (dan dalam konteks yang sedikit lebih luas) ‘post-strukturalisme’ sebagai tersangka munculnya era ini? Baru-baru ini, dalam satu artikelnya di Jurnal Critical Studies on Security, Rhys Crilley dan Precious Chatterje-Doody dua ilmuwan dari Manchester, memberikan jawaban: tidak juga. Masalahnya adalah kita sering keliru mengidentifikasi post-strukturalisme dan post-modernisme sebagai kerangka berpikir ‘anti-kebenaran’ atau mengabsurdkan apa yang sering dianggap sebagai ‘common sense’ dalam studi sosial politik. Sebagaimana diutarakan oleh Rhys dan Precious, post-strukturalisme justru relevan untuk mengkritik rezim-rezim post-truth karena mereka ingin menciptakan rezim kebenaran baru yang, sayangnya, anti-sains dan anti-‘keberagaman’.

Lha, kok bisa? Ya bisa saja. Ini karena sebetulnya argumen-argumen “post-truth” (semacam, misalnya, “Bumi Datar” atau penolakan tentang Global Warming) juga bukan argumen post-strukturalisme. Justru, mereka mengingatkan bahwa hal-hal semacam itu terjadi dan adalah tugas dari sains dan ilmu pengetahuan untuk senantiasa berpikir kritis terhadap hal-hal semacam itu.

Ambil contoh, misalnya, buku klasik Jean-Francois Lyotard, “The Postmodern Condition”. Buku ini terbit tahun 1978 dan segera menjadi karya klasik dalam literatur postmodernisme. Saya beruntung bisa dapat bukunya sebesar hanya $3 di Brisbane Book Festival kemaren. Lyotard tidak berargumen bahwa sains itu tidak relevan, atau kita harus menolak metode saintifik. Yang diingatkan oleh Lyotard dalam uraian panjangnya tentang masyarakat yang telah “terkomputerisasi” adalah, bahwa sains dan metode ilmiah menjadi instrumen kekuasaan, karena ada dimensi “pragmatis” dari sains itu sendiri. Ini yang sering dilupakan oleh peneliti dan ilmuwan, baik yang muda sampai yang sepuh: bahwa riset-riset yang kita hasilkan punya konsekuensi, baik yang disengaja atau tidak disengaja, terhadap tatanan sosial dan politik yang ada. Universitas biasanya sudah mengantisipasi hal ini dengan semacam prosedur etik yang harus diisi oleh peneliti sebelum turun lapangan. Tapi ini juga tidak cukup. Ada semacam ‘unintended consequences’ yang lahir dari penelitian setelah ia terpublikasikan/teraplikasi dalam kebijakan (bagi ilmuwan sosial).

Ambil contoh, misalnya, dalam riset-riset tentang Terorisme. Ini isu yang seingat saya lagi agak booming di dekade 2000an hingga saya menulis skripsi tahun 2012 (oh ya, riset saya tentang Ikhwanul Muslimin di Mesir). Masalah dari kajian Terorisme bukan sekadar soal bagaimana membuat orang jadi tidak radikal dan tidak lagi membunuh orang, kajiannya juga menjadi peta-jalan bagi pemerintah untuk mem-frame kebijakannya. Dan tidak hanya itu -ia juga menjadi bahan bagi oposisi untuk menyerang kebijakan pemerintah. Masih ingat tentang bagaimana kebijakan imigrasi Trump menjadi sangat rasis karena ia seenaknya mengecap orang-orang dari belahan dunia tertentu sebagai ‘Teroris’ yang harus diwaspadai? Kebijakannya bisa saja lahir dari konsepsi tertentu tentang keamanan -ya, para pengkaji keamanan tentu paham soal preventive action dan aksi-aksi untuk mencegah ancaman. Tapi konsepsi tersebut, tanpa sadar, menjadi rasis dan menyerang identitas tertentu secara membabi-buta, hingga membuat banyak sekali, misanya, scholars yang gagal hadir dalam Konvensi tahunan International Studies Association hanya karena latar belakang kewarganegaraannya.

Dan post-strukturalisme juga membantu kita untuk berpikir lebih kritis tentang struktur sosial dan struktur kebudayaan. Ia juga membantu para #PhDJomblo (ups) untuk berpikir kritis tentang struktur sosial yang menjadikan kejombloan sebagai ‘tekanan sosial’, sebagaimana studi seorang kawan disini. Dan dengan bantuan pasca-strukturalisme (ambil saja, misalnya, varian Foucauldian), kita bisa melihat bahwa masalah rambut gondrong saja (sepele, bukan) yang dilarang Orde Baru dan digantikan dengan keklimisan yang membikin lelah sebetulnya adalah bagian dari kontrol Orde Baru terhadap anak muda agar tidak berulah pada kekuasaan Soeharto yang absolut dan otoriter itu. Atau, misalnya, kita juga bisa menggunakan post-strukturalisme, misalnya, untuk memahami bagaimana hierarki terbangun di Institusi Pendidikan Tinggi melalui praktik-praktik semacam Jabatan atau Seleksi Masuk Dosen yang sebenarnya biasa saja, bahkan mungkin dianggap profesional. Dan kita bisa lihat betapa banyaknya kebijakan Orde Baru yang sebetulnya menggunakan bahasa ‘ketinggian budaya’, ‘kesantunan’, dan hal-hal “Mulia” semacamnya tetapi sebetulnya adalah cara untuk menindas orang yang berbeda!

Kita juga bisa melihat yang lebih sepele: masalah keharusan untuk menikah cepat, misalnya, yang membuat para #PhDJomblo menjadi insecure bukan sekadar soal memenuhi sunnah Nabi, tetapi juga prestise keluarga dan harga diri di mata masyarakat. Pernah nggak, sih, teman-teman semua risih ketika datang ke acara tertentu, lalu datang sendiri dan malah di-bully (secara halus, atau tidak, sama saja) karena status Single? Hehe, saya bercanda saja sih kalau yang ini.

Dari sini post-strukturalisme mengajarkan untuk berpikir kritis terhadap apa yang disebut sebagai ‘hypothesis-testing’ dan varian-variannya, untuk tidak ‘taking for granted’ tentang apa yang sering disebut sebagai “ilmiah”, karena ia juga bisa menjadi alat untuk melegitimasi proyek kekuasaan tertentu. Berpikir ilmiah itu wajib. Tanpa berpikir secara ilmiah dan menemukan sesuatu yang baru atau berkontribusi bagi ilmu pengetahuan, peradaban kita tidak akan maju. Tapi berpikir kritis terhadap apa yang sering kita sebut ‘ilmiah’ juga wajib ‘ain. Nah, sebaliknya, implikasi dari argumen Lyotard tersebut adalah, jika ada argumen yang menolak sains dan/atau mendorong argumen konspirasi yang berlebihan, juga perlu dikritisi dan ditolak, sebab juga menjadi legitimasi untuk politik kekuasaan tertentu.

Tentu saja, sebagai konstruksi metodologi, post-strukturalisme punya keterbatasan. Dan ini juga perlu dikritisi secara keilmuan. Dalam kajian metodologi yang lebih njlimet dan ndakik-ndakik, misalnya, sudah muncul alternatif semacam Realisme Kritis yang mencoba untuk mengapresiasi kekuatan post-strukturalisme untuk melihat relasi kekuasaan yang invisible di masyarakat, tetapi juga melihat bahwa dasar metode ilmiah yang positivistik, yang melihat pola-pola  sosial secara sistematis dengan menggunakan, misalnya, hypothesis-testing, juga perlu diterima secara proporsional. Debat di wilayah ini harus terbuka.

Nah, yang lebih penting di sini adalah: perlunya ilmuwan untuk juga kritis pada relasi-relasi kekuasaan, selain juga berkutat pada agenda ‘menemukan’ kebenaran melalui proses riset. Disinilah kontribusi penting, walaupun juga terbatas, dari post-strukturalisme dan varian-varian Teori Kritis lainnya. Sebagaimana dulu pernah diingatkan Robert W Cox dalam artikel legandarisnya 3 dekade silam, “teori selalu untuk seseorang dan untuk tujuan-tujuan tertentu”. refleksi-diri selalu penting bagi periset, untuk memastikan bahwa riset-riset yang kita lakukan, entah sengaja atau tidak sengaja (terimplikasi dari hasilnya), tidak berujung sebagai legitimasi dari kekuasaan yang menindas orang.

Di titik inilah nalar kritis (peneliti) Muslim jadi penting di Abad ke-21. Ups, kok malah jadi promosi buku disini:

Nalar Kritis
Sedikit buku yang sempat saya tulis dan terbitkan tahun lalu, mungkin terkait dengan isi tulisan ini.

Oh ya, kalau ada yang tertarik untuk baca artikel dari Rhylis dan Precious, bisa dicoba dicek disini: https://www.tandfonline.com/eprint/f8YJ56q4AJHbqDdSzD6E/full.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s