Kemarin (dan sepertinya dalam beberapa bulan ke depan), saya membaca kitab klasik dari Syaikh Al-Tahir Ibn Ashur yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Treatises on al Maqasid al-Shari’ah. Bukunya agak tebal, dan dimensi fiqh-nya sangat terasa. Maklum, Ibn Ashur adalah seorang ulama Fiqh di awal abad ke-20. Beliau berasal dari Tunisia dan sempat berinteraksi dan, secara tidak langsung, menjadi “murid” dari Muhammad ‘Abduh, Syaikhul Azhar kenamaan itu.
Nama Ibn Ashur memang tidak begitu terkenal di Indonesia – mungkin karena pendekatan fiqh beliau yang sangat jelas coraknya sebagai fuqaha Mazhab Maliki. Plus, bisa jadi, karena gagasan-gagasan pembaharuan keagamaan yang hadir di Indonesia ditransmisikan melalui Syaikh Rashid Rida’ melalui Tafsir Al-Manarnya, dan tidak banyak menghadirkan Ibn Ashur dan pemikiran-pemikiran keagamaanya. Belakangan, saya mengenal Ibn Ashur ketika membaca buku Muhammad Yasir ‘Audah (ofisialnya adalah Jasser Auda hehehe) tentang Maqasid Al-Shariah, yang sedikit banyaknya merujuk pada kajian luar biasa Ibn Ashur tentang Maqasid (selain, tentu saja, Imam Asy-Syathibi yang sudah terlebih dulu menulis tentang Maqasid Al-Shariah).
Tapi pemikiran Ibn Ashur tetap menarik untuk diikuti. Apalagi bagi saya yang mengkaji fiqh bukan untuk menguasai ilmunya, tapi lebih sebagai tuntunan praktis hidup beribadah dan bermuamalah. Saya membaca karya Yasir ‘Audah ketika menunaikan ibadah haji dulu, dan memberikan beberapa insight menarik tentang bagaimana mengartikulasikan ‘Maqasid’ dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus membangun cara berpikir untuk menjadi seorang Muslim yang ‘kritis’ tetapi tetap berpegang pada prinsip Wasathiyah dan taat pada Syariah.
Nah, salah satu yang menarik dari penjelasan Al-Tahir Ibn Ashur adalah pendapat beliau tentang mengapa penting, setidaknya bagi seorang fuqaha atau pengkaji Syariah, untuk memahami Maqasid Shariah. Poin penting dan menarik dari pendapat Ibn Ashur adalah bahwa Maqasid akan membantu kita untuk tidak terlalu fanatik dengan mazhab yang sudah ‘pakem’. Menurut beliau, seorang ahli fiqh mesti menghindari pendapat dari, misalnya, murid Ibn ‘Arafah, bahwa “saya tidak pernah berselisih pendapat guru saya, dan saya tidak akan berbeda dengannya wlaupun ia sudah meninggl dunia” (lihat h. 14).. Menurut Ibn Ashur, fanatik terhadap metode/aliran pemikiran tertentu akan menghalangi pengkaji fiqh untuk menemukan “maqasid” atau tujuan dari syariah secara ilmiah.
Saya akan berhent di titik ini, mengingat saya bukan penstudi fiqh secara serius (hanya membaca dan belajar untuk kepentingan ‘praktis’ sehari-hari), jadi saya tidak berkapasitas utk menilai pendapat Ibn ‘Ashur. Tapi pesan Ibn Ashur tadi beresonansi dengan percakapan antara saya dan Bapak pembimbing beberapa pekan lalu, “kalau sudah turun ke bumi (maksudnya ya ketika menulis Tesis), yang paling penting ya argumenmu”. Maksudnya, kira-kira begini: ketika sudah menulis, mau tidak mau kita harus tau literatur apa yang pernah muncul, kritik dan analisis literatur itu (termasuk jika yang menulis adalah Supervisor sendiri), lalu muncul dengan argumen kita sendiri.
Eh tapi bukannya semua Tesis PhD seperti itu? Nah, yang menjadi ‘resonansi’ dengan pendekatan Ibn Ashur di sini adalah bahwa metode berpikir untuk kritis, objektif, dan ilmiah, selain juga (dalam konteks ini), memahami tujuan dari syariah tersebut secara sistematis, adalah penting. Ada satu hal yang bisa kita pelajari dari perkataan Ibn Ashur tersebut: baik ilmuwan politik, saintis, atau ahli fiqh terikat pada satu etos yg sama: objektivisme dan nalar kritis dalam menarik kesimpulan. Mungkin akan ada orang yang berargumen, “Lha kan tradisi Barat yang liberal-sekuler dan berlandaskan pada rasionalisme itu berbeda dengan cara pandang Islam?” Tapi jangan salah juga: rasionalisme dan objektivisme juga berakar dalam sejarah keilmuan Islam, lho! Dalam bukunya yang juga menarik (kapan-kapan perlu dibedah juga), Nadhal Guessoum (seorang Fisikawan Aljazair) pernah berargumen bahwa masa jaya Islam di Andalusia melahirkan sebuah cara pandang berpikir rasional-objektif, lewat Ibn Rushd, yang kemudian diadopsi oleh orang-orang pencerahan Eropa. Jadi, sejarah Islam dan Barat itu sebenarnya terhubung, dan apa yang kita sebut sebagai ‘rasionalisme Barat’ hari ini adalah juga bagian dari cara berpikir Islam masa lalu.
Nah, banyak sekali warisan tradisi Islam yang berada di area pembahasan ini. Kita masih ingat Sayyidina Ali pernah berkata, “lihatlah apa yang diucapkan, dan jangan (cuma) melihat siapa yang mengucapkan”. Para perawi hadits menerapkan metode kritisisme sumber sejauh metode jarh wa ta’dil, yang mencela dan memuji rantai sanad hadits (dan latar belakang periwayat serta matan haditsnya) hanya untuk mencegah ada hadits palsu beredar di masyarakat. Metode ini sebenarnya adalah metode verifikasi sejarah yang sangat ketat, yang sayangnya dilupakan oleh banyak orang yang mengaku Muslim ketika mengeshare sesuatu di media sosial.
Di sini, ada dua etos berpikir yang sebenarnya perlu kita jaga, agar Nafas Islam yang Berkemajuan yang rasional, objektif, dan kritis sebagaimana dianjurkan dalam nafas pemikiran Ibn Ashur tetap lestari di abad 21. Etos pertama adalah etos berpikir kritis dan, pada titik tertentu, keberanian untuk berbeda bahkan dengan “guru”, supervisor, mentor, atau mungkin Kepala Lab kita sendiri. Berpikir kritis berarti mempertanyakan asumsi ‘mapan’ yang selama ini ada di benak kita dan mencari, atau melihat, kebenaran dengan mata kepala kita sendiri. Oh ya, supaya saya tidak dituduh sesat dan liberal, kebenaran yang saya maksud di sini adalah kebenaran ‘ilmiah’ yang bersifat ‘observable‘ bukan kebenaran teologis yang biasanya diceramahkan di Mesjid.
Etos kedua adalah etos berpikir historis; menempatkan gagasan kita, seberapapun mungkin kita berbeda dengan “guru-guru” kita, sebagai bagian dari mata rantai gagasan yang telah terbangun dari masa silam. Di sini kita kemudian belajar untuk tidak hanya kritis, tetapi juga punya adab; kejujuran ilmiah, penghormatan yang sesuai dengan asal darimana kita menerima ilmu tersebut. Kebenaran ilmiah tentu datang dari Allah, tapi Allah sendiri yang memerintahkan kepada Nabi-Nya, dalam ayat pertama yang turun, untuk mencari kebenaran ilmiah tersebut dengan satu metode: Iqra’! Dengan demikian, garis keilmuan kita tetap punya “sanad”, yang akan mengarahkan kemana orientasi kemajuan akan kita bawa.
Pada akhirnya, gagasan Islam Berkemajuan (perlu dicatat, Al Tahir Ibn Ashur juga pernah berguru dgn Muhammad ‘Abduh dan saya tidak akan sungkan untuk menyebut beliau sebagai proponen ‘Islam Berkemajuan’ juga walaupun tidak punya KTA Muhammadiyah) akan menemukan relevansinya hari ini satu jalan: riset. Siapapun yang mendaku Muslim Berkemajuan, etos riset dan penelitian ilmiah mesti hadir. Ini yang membedakan seorang Muslim yang Berkemajuan dengan muslim yang lain. Dan artinya, ini mungkin akan jauh lebih berat daripada membuat sekolah, perguruan tinggi, mengerjakan proyek, atau menulis di jurnal terindeks Scopus Q1 sekadar dapat kum 850 – termasuk juga mencari pendamping buat para #PhDJomblo….
Oh ya, berikut penampakan bukunya. Maaf ya, sekalian saya foto dengan suasana pagi hari kota Brisbane di hari Minggu….

Tentang masa Andalusia: bukankah pemikir2 dari situ didiskredit oleh Baghdad dan sekitarnya sebagai “terlalu rasional” bahkan?