Saya harus bikin pengakuan (halah, ngaku-ngaku): salah satu “tantangan” terbesar saya ketika datang ke Brisbane adalah beradaptasi secara sosial. Ini bukannya beradaptasi dengan masyarakat Australia secara umum (yang pada dasarnya sama saja dengan masyarakat Inggris, walau lebih santai). Justru, adaptasi saya adalah dengan lingkungan masyarakat Indonesia di sini. Aneh, memang. Justru bertolak-belakang ketika saya pertama kali datang ke Inggris 3 tahun silam.
Lho, kok bisa?
Ya, bisa saja. Nah begini ceritanya. Dulu, ketika baru saja datang ke Sheffield, saya merasakan “gegar budaya” karena untuk pertama kalinya datang dan tinggal di negara Barat. Apalagi Inggris, nun jauh di sana dan tidak terpikirkan oleh saya sebelumnya, plus juga saya satu rumah dengan 3 orang mahasiswa British yang (walaupun baik) tapi secara kultur berbeda jauh dengan saya yang berantakan dan kikuk karena baru saja datang ke Peradaban Barat. Belum cuaca. Beruntung, jauh-jauh hari sebelumnya, beberapa kawan mahasiswa baru di Sheffield membuat grup Whatsapp khusus mahasiswa Indonesia yang baru datang, dengan difasilitasi oleh beberapa pengurus Indosoc Sheffield. Tidak peduli dari beasiswa mana, dan jenjang pendidikan mana.
Jadi, ketika mau berangkat, kita sudah saling bertukar informasi via grup Whatsapp, sudah saling tahu nama masing-masing walau belum pernah bertemu. Apalagi ketika berangkat ternyata ada ‘barengan’. Sampai ke sana, saya dan kawan-kawan berinisiatif untuk membikin ‘gathering’ khusus mahasiswa Indonesia, jadi saling mengenal satu sama lain. Kebetulan itu satu minggu menjelang Idul Adha (saya masih ingat, lepas Shalat Idul Adha, makan-makan di rumah mas Silih Warni, kemudian kembali ke kampus untuk registrasi). Lepas Idul Adha dan acara registrasi yang melelahkan itu, malamnya kami diundang dalam Halal-Bihalal warga Indonesia di Rumah Makan Turkuaz di London Road, dan disana kami saling mengenal dengan warga Indonesia yang lain. Jadi akhirnya kita saling kenal satu sama lain. Dari sana baru diajak pengajian, main bulutangkis atau futsal (saya jarang sekali main), atau sekadar ngobrol-ngobrol nggak jelas.
Nah, Dengan cara ini, pertemuan warga Indonesia menjadi wadah silaturrahim yang efektif di tengah-tengah padatnya aktivitas perkuliahan. Beberapa bulan pertama saya masih adaptasi dengan suasana British yang muram tapi ngangenin itu. Tapi, ada supporting system-nya, yang melepas kerinduan, yaitu teman-teman mahasiswa dan warga Indonesia. Walaupun ketemunya cuma 2 minggu sekali untuk pengajian. Tapi hingga kini, saya masih merasa rekan-rekan di Sheffield seperti “saudara”, bahkan dengan rekan-rekan mahasiswa(i) yang datang selepas saya pergi.
Nah, ketika kemudian berangkat ke Brisbane 2,5 bulan yang lalu, suasananya agak berbeda. Mahasiswa Indonesia yang berangkat ke Brisbane (apalagi Queensland secara umum) jumlahnya berkali-kali lipat mahasiswa (apalagi warga) Indonesia di Sheffield. Bisa jadi, karena saking banyaknya mahasiswa Indonesia disini, jumlahnya tidak bisa tertampung di satu grup Whatsapp/Facebook. Bayangkan saja, satu angkatan AAS bisa sampai 20an orang dan LPDP bisa dua kali lipatnya. Belum yang PhD dari jalur beasiswa lain, Rispro, dan undergraduate. Australia memang tidak begitu jauh dari Indonesia, jadi kuliah ke sini tidak menyita banyak biaya dibandingkan kuliah di UK yang jauh, dingin, tapi kok ya bikin susah move on itu.
Oh ya, dan ada satu hal lain yang baru saya sadari, ternyata (di sini) penting: beasiswa! Masing-masing informasi biasanya terdistribusikan lewat beasiswa, baik AAS, LPDP, Rispro, BUDI, ataupun yang beasiswanya aneh seperti saya, hehehe. Jadi, rekan-rekan AAS settlement disini via aktivitas semacam EAP, LPDP dengan ‘gathering’ dan ‘welcoming’, dan lain-lain. Soal settlement, memang masing-masing beasiswa sudah punya semacam ‘mekanisme’ sendiri untuk menyambut anggotanya dan memastikan anggotanya tidak kesusahan hidup di bulan-bulan pertama Brisbane, sembari diperkenalkan dengan komunitas mahasiswa Indonesia di sini. Baru kemudian di awal Maret, PPIA QLD dan IISB (Komunitas Pengajian di sini) melakukan gathering BBQ.
Lha, saya? Eh ndilalah beasiswa yang saya dapatkan untuk studi di sini rupanya bukan beasiswa yang populer di kalangan mahasiswa Indonesia (. Sebagai info, beasiswa saya berasal dari Graduate School UQ, selepas proses seleksi yang lama dan puanjang itu. Tahun ini, ternyata yang diterima beasiswa tersebut cuma 5 orang! Itupun saya baru ketemu dengan rekan-rekan lain ketika Induction di Graduate School, atau tiba-tiba ketemu di jalan, berkenalan, dan akhirnya tahu kalau beasiswanya adalah dari UQ Graduate School. Jadi, meskipun mahasiswa Indonesia di sini banyak, tapi saya jadi seperti minoritas, atau seperti kata seorang teman, “ya memulai apa-apa ‘sendirian’ saja”.
Nah, jadinya, ketika awal-awal saya datang ke sini, situasinya berkebalikan: saya tidak begitu kesulitan beradaptasi dengan lingkungan Brisbane (karena masih sangat Anglosphere dan individualistis tapi lebih santai saja), tapi malah bingung ketika tiba-tiba ketemu mahasiswa Indonesia lain di jalan karena sama sekali belum kenal! Kadang malah ketemu di jalan, di bulan-bulan pertama, senyum tapi ndak menyapa. Kadang-kadang saya yang menyapa duluan. Kadang-kadang beliau yang bertanya. Di sini malah saya sering bingung karena sering ditanya, “masnya beasiswa AAS atau LPDP?” Saya biasanya langsung menjawab bukan keduanya dan orangnya manggut-manggut. Kadang ada sambungannya, “sudah bawa keluarga?” yang biasanya bikin saya tersenyum kecut sebagai #PhDJomblo, hehehe.
Untunglah saya sudah pernah berurusan mencari-cari rumah di Inggris, jadi tidak terlalu masalah dengan akomodasi dan settlement awal. Plus juga sebetulnya Australia tidak begitu ribet, membuka akun Bank tidak perlu appointment berminggu2, dan mengaktifkan nomer hp bisa langsung tanpa nunggu berhari2. Dan beruntung, sebelum ke sini, saya dikenalkan oleh beberapa rekan lulusan Australia dengan mahasiswa Indonesia di POLSIS seperti mas Umam (yang berkenan diminta bantuan untuk inspection rumah yang saya tempat sekarang), bu Ririn (lha kalau beliau ya memang dosen saya), atau mbak Lina (yang sudah pernah ketemu sebelumnya). Dari mereka saya kemudian diberi beberapa kontak UQISA dan mendapatkan informasi seputar akomodasi dll. hingga bisa settlement tanpa harus adaptasi berlarut-larut. Dan kebetulan juga saya tinggal bersama mahasiswa Indonesia lain, Pak Supardi, di temporary accommodation saya di sini (selama 2 minggu) .
Dan akhirnya, saya masih ingat kata pepatah: tak kenal maka ya kenalan saja. Pada akhirnya, setelah 2 bulan di sini, saya bisa kenalan dengan mahasiswa Indonesia di UQ (meskipun masih banyaaaaak sekali yang belum saya kenal), bisa ikut ngopi-ngopi dengan Bapak-Bapak PhD, ikutan jalan-jalan, dan yang paling penting turut serta mendirikan Muhammadiyah Ranting Queensland hehehe. Tentu di sela-sela bimbingan, baca buku, atau mengerjakan tugas dari supervisor yang saban hari jadi makanan sehar-hari. Juga bisa terhubung dengan mahasiswa(i) Indonesia di sini via Media Sosial (meskipun ada banyak yang belum merespons friend request hehehe).
Dan yang paling penting adalah: ketika ketemu di jalan, udah nggak bengong lagi, atau dikira mahasiswa Malaysia, karena sudah kenal….
