Kemarin, Direktur Pascasarjana mengirim satu email yang berisi “enam kebiasaan akademik positif menjadi penulis produktif”. Ternyata itu dikirim ke dia oleh Bapak Supervisor, hehehe. Keduanya memang terkenal produktif dan prolifik. Nah, singkat kata, kok ada beberapa poin yang sepertinya juga relate dengan pengalaman saya menulis, dan mungkin perlu juga dikupas disini.
Salah satu poin dari ‘enam kebiasaan akademik’ tersebut adalah “menulis di luar jadwal” atau, salah satu alternatifnya, “menulis bebas” (freewriting). Jadi, saran si penulis, kalau sedang menulis besar (buku, misalnya, atau riset PhD), anda pasti akan menemui deadline yang menggunung. Apalagi anda #PhDJomblo seperti saya, pasti akan ketambahan satu hal: sendiri. Nah, kadang-kadang hal tersebut stressful, bikin frustasi, atau kalau nggak ya bikin galau. Jadi, anda perlu rehat sesekali… tapi awas, jangan sampai kehilangan momentum buat nulis! Nah, disini, menulis bebas secara lebih rileks akan menjadi satu alternatif solusi.
Masing-masing penulis punya cara tersendiri dalam menulis. Saya juga. Ada tipe penulis yang waktu produktifnya adalah sebelum Subuh. Ada yang ba’da Subuh. Ada yang setelah shalat Dhuha. Ada juga yang setelah shalat Ashar, atau bahkan ba’da maghrib (seperti saya). Ada yang waktu produktifnya muncul setelah minum Teh atau kopi. Ada yang baru bisa nulis setelah mendengarkan lagu-lagu Poppy Mercury atau White Lion. Ada juga yang malah baru bisa nulis kalau suasananya tenang – saya malah kebalikannya, susah nulis kalau terlalu hening..
Masalahnya bukan apa-apa: menulis itu butuh flow, kondisi dimana anda akan merasa nyaman untuk menulis, dan kalau itu dapat pikiran anda akan langsung tersambung dengan jari-jemari, memungkinkan kita untuk menulis 2-3 halaman sekali duduk. Tapi kalau belum ketemu flow-nya, ya…. Anda bisa saja menghabiskan 2-3 jam di depan komputer, dan ujung-ujungnya hanya mendengarkan NDX A.K.A atau Exist tanpa menulis banyak paragraf.
Nah, faktor flow ini bisa berbeda di masing-masing penulis. Jika anda menghadapi proyek berskala besar (saya bisa bilang, salah satunya ya PhD), anda perlu sedikit ‘trick’ untuk menghadirkan flow ini. Flow bisa dicari dan dipantik, tapi ia tidak dipaksa untuk hadir.
Ini bisa jadi problem bagi orang yang gampang bosan dan excited dengan hal-hal baru seperti saya. Well, ini kayaknya juga masalah orang-orang dengan tipe karakter ENTP – yang sangat Extrovert, Intuitif, suka berpikir, dan perceiving hal-hal yang ada di luar sana (termasuk kamu, dek, #eh). Nah, PhD butuh kesabaran, tapi orang seperti saya malah akan cenderung impulsif dan gampang terdistraksi ketika menemui hal-hal baru yang rentang mengganggu proyek riset (contoh, misalnya: Call for Paper atau Informasi Hibah Riset! hahaha). Tapi problem bagi saya juga adalah saya gampang bosan, tidak bisa terlalu lama duduk menggeluti satu hal, apalagi jika hal itu mengekang saya dengan aturan-aturan prosedural yang kaku dan baku.
Lha, gimana solusnya?
Kalau mengacu pada artikel yang dikirimkan oleh Bapak Supervisor dan dibagikan oleh Bapak Direktur Pascasarjana itu, maka artinya kita perlu ‘distraksi-distraksi positif’. Maksudnya adalah, “carilah flow, tapi jangan memaksa diri. Kalau tidak dapat ya sudah, tidak apa-apa. Tulislah/Lakukan hal lain sembari kemudian menyesuaikan diri menulis…”
Distraksi positif ini bisa bermacam-macam. Dulu, waktu mengerjakan skripsi, sembari menunggu Bapak Supervisor mengagendakan waktu bimbingan sebulan sekali (sementara saya sudah mau lulus! wkwk), saya membagi waktu dengan mengedit Jurnal Kultural dan diskusi dengan kawan-kawan. Ndak usah ditanya ketika kuliah S1: malah dulu sepertinya ‘kuliah’ jadi distraksi positif di sela-sela aktivitas nge-BEM hehehe (jangan diikuti ya). Ketika kuliah Master, ‘distraksi positif’ itu berwujud Lingkar Studi Cendekia dan PCI Muhammadiyah UK. Oh ya, ada juga forum ‘pelarian’ berwujud ‘Bradley Party’. hehehe. Ada forum semacam Muhammadiyah Queensland, atau jamaah ngopi Bapak-Bapak setiap Jumat malam ketika saya PhD, dan entah nanti ada forum apa lagi, yang bisa membantu saya untuk berpikir waras ketika studi.
Distraksi positif ini juga bisa berwujud hal lain. Kuliah Master melelahkan dan memusingkan: kita bisa menghabiskan malam-malam yang panjang di perpustakaan, rebutan komputer di Information Commons atau Diamond, dan kadang-kadang miris melihat feedback setelah malam-malam yang dingin dan lapar itu. Supaya tidak kesepian, saya biasanya juga menulis iseng-iseng sekadar untuk melapangkan pikiran dan menemukan momentum flow. Ketika stuck dalam menulis Disertasi, saya malah menghabiskan sedikit waktu untuk mencari nama calon supervisor, menghubungi beliau, dan mengirimkan proposal PhD saya ke beliau. Dan saya juga mencoba untuk sedikit mencari peruntungan di sela-sela PhD dengan menulis kolom dan artikel jurnal – bukan supaya published, tapi supaya kita tidak stress ketika stuck dengan satu proyek.
Nah, maka dari itu, sebetulnya aktivitas semacam berorganisasi, kumpul-kumpul sama teman, piknik bareng keluarga, hiking, main badminton, masak, nge-blog #PhDJomblo, atau menulis sampingan itu dalam banyak hal bisa positif, lho! Asalkan satu: kita tidak kehilangan fokus. Ini juga susah. Saking excited-nya, kadang-kadang malah kita yang terbawa arus sehingga malah sibuk mengurusi hal-hal sepele. Ini juga tidak perlu dan perlu diantisipasi. Maka dari itu, membuat deadline artifisial, dan punya supervisor yang membantu dan mau meluangkan waktu sekadar untuk diskusi, juga penting, sehingga kita tidak kehilangan fokus dalam mengerjakan proyek riset semacam PhD yang melelahkan dan lama. Apalagi jika anda gampang bosan dan perlu venue untuk melakukan hal-hal yang baru dan bervariasi seperti saya.
‘Ala kulli hal, PhD bisa membuat kita kesepian (ini sering sekali saya dengar dari teman-teman), stressful, dan dalam kasus saya, bisa membawa kegalauan. Maka dari itu, mencari distraksi positif dalam kadar yang pas, juga penting. Yang penting, bisa mengantarkan selesai sampai tujuan, yaitu PhD Conferment…..

