Catatan harian #PhDJomblo (9): Mazhab

Syahdan, dalam studi Hubungan Internasional, Mazhab Konstruktivisme Amerika Serikat tahun 1990an berkembang di dua titik utama: Cornell dan Minnesota. Ada dua orang Profesor masyhur nan terkenal disini, yang pada awalnya sebenarnya bukan Konstruktivis: Peter Katzenstein di Cornell, Raymond ‘Bud’ Duvall di Minnesota. Keduanya lahir dalam tradisi behavioralis tahun 1960an (sangat khas Amerika bukan?) tetapi mendidik mahasiswa dengan tradisi teoretis yang sangat beragam. Keduanya memang dikenal sebagai Profesor kawakan – Katzenstein mengedit International Organization, jurnal nomor 1 di Amerika (dan dunia, sampai saat ini), sementara Bud Duvall mengelola Departemen Ilmu Politik di Minnesotta.

Walaupun ada banyak penulis lain, nama keduanya lekat sebagai generasi pertama pemikir Konstruktivis dalam studi HI. Tapi di luar karya-karya mereka, yang ‘eksepsional’ dari dua Profesor ini adalah murid-muridnya. Mereka memang dikenal sebagai mentor yang luar biasa (well, saya cuma mendengar ini dari salah satu supervisor saya, yang notabene adalah muridnya Katzenstein, hehehe). Punya perspektif yang khas, tapi konon juga punya kepedulian untuk mengasah dan mengembangkan potensi intelektual muridnya. Inilah kemampuan yang susah didapat oleh peneliti dan ilmuwan muda yang masih ‘hijau’ dan kadang berapi-api. 

Di tangan Katzenstein, lahir teoretikus Konstruktivis dengan tradisi agak ‘institusionalis’ dan sedikit ‘liberal’. Beberapa nama bisa disebut: Audie Klotz, yang terkenal dengan kajiannya soal ‘Norma’ dan Politik Apartheid, Louis Pauly, mantan editor International Organization yang terkenal sebagai ahli Ekonomi Politik Internasional, David Lake, yang terkenal dengan teorinya soal ‘hierarki’ dan ‘dua-bentuk kedaulatan’, Richard Price, yang pendekatannya cukup ‘kritis’, Chris Reus-Smit yang membangun konvergensi antara ‘English School’ dan ‘Konstruktivisme’ hingga belakangan Andrew Phillips dengan kajiannya soal International Order.

Murid-murid Bud Duvall cenderung lebih kritis: Alex Wendt, “Bapak” Teori Konstruktivisme yang membangun kerangka analitis dalam Social Theory of International Politics, Michel Barnett yang menulis banyak kajian soal Humanitarianisme, Mark Laffey dan Himadeep Muppidi yang agak pasca-kolonial, Jutta Weldes yang terkenal dengan bukunya soal “Kepentingan Nasional”, hingga Roxanne Doty yang cenderung post-strukturalis. Terlihat tradisi teoretis yang agak kritis dan plural di sini. Ketika Mike Barnett di tahun 2000an mengumpulkan murid-murid Katzenstein dalam sebuah Konferensi, yang kemudian jadi buku, kita bisa melihat ragam perspektif yang saling berdebat satu sama lain, tetapi bermuara pada satu “Guru” yang sama!

Nah, tradisi Akademik di Amerika (dan Eropa pada umumnya) secara informal “mengharuskan” mahasiswanya untuk pindah ke tempat lain sebelum mendapatkan tenure atau posisi akademik permanen (catatan: di Indonesia, tenure sudah didapat lebih dulu biasanya karena posisi dosen adalah PNS yang permanen). Lalu bertebaranlah murid2 mereka ke muka bumi. Dua murid Katzenstein, Andrew Phillips dan Chris Reus-Smit, kembali ke Australia dan membangun mazhab yang sangat khas di sini: University of Queensland. Richard Price dan Louis Pauly kembali mengajar di Kanada, dan lain-lain. Di sisi sebelahnya, Alex Wendt pindah ke Yale, Chicago, lalu menetap di Ohio State University, bersama istrinya yang juga IR Theorist terkenal: Jennifer Mitzen. Jutta Weldes memilih mengajar di Bristol, sementara Mike Laffey mengajar di SOAS London. Mike Barnett mengajar di GWU dan Roxanne Doty pindah ke Arizona. dan lain-lain. Dari sana, mereka mendidik murid-murid lain, dan Konstruktivisme semakin berkembang, kaya, dan juga konvergen dgn perspektif lain. Generasi teoretikus Konstruktivis ini bisa jadi sudah menginjak generasi ketiga atau bahkan keempat, termasuk “generasi baru” yang sedang dalam tahap inkubasi alias belajar riset di Graduate School, salah satunya ya saya.

Oke, ini cerita tentang studi Hubungan Internasional. Nah, cerita saya ini mengingatkan pada tradisi yang mirip dalam kajian Fiqh dalam Studi Islam. Dalam literatur fiqh yang kini kita kenal, ada empat mazhab besar dengan Imam masing-masing yang membangun ‘mazhab’-nya dan diikuti oleh banyak ulama bahkan hingga saat ini: Muhammad ibn Idris Asy-Syafii, Malik ibn Anas, Ahmad ibn Hanbal, dan Abu Hanifah. Yang membuat keempat ulama ini masyhur bukan hanya karya yang mereka hasilkan, tetapi tradisi teoretis yang mereka hasilkan hingga saat ini, dan kita kenal dxengan istilah “Mazhab”.

Ceritanya agak paralel. Imam Syafii yang bermukim di Iraq, kemudian pindah ke Mesir, mewariskan tradisi yang turun hingga Imam Nawawi, lalu di abad ke-18. Arsyad Al-Banjari, Abdussamad Al-Falimbani, dan seterusnya hingga Kyai-kyai ulama Nusantara saat ini. Imam Ahmad ibn Hanbal, seorang ahli hadits, bisa dilacak warisannya hingga Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim Al-Jauzi, ulama-ulama “Wahabi” di Saudi yang sangat tekstual dan skriptural, Universitas Islam Madinah hingga dalam titik tertentu ulama dan intelektual “modernis” Indonesia (catatan: Disertasi Cak Nur tentang Ibn Taimiyyah bisa jadi contoh menarik. Imam Malik dan tradisi Ahl Madinah, warisannya terlihat dalam pemikiran tentang Maqasid Syariah, yang secara genealogis terhubung ke Imam Asy-Syathibi, Syaikh Al-Tahir ibn Ashur, Muhammad Jasser Auda, dan banyak ulama lainnya. Sangat khas bukan?

Nah, hal ini sebetulnya juga menunjukkan satu hal: bahwa membangun perspektif berarti sebuah tradisi teoretis yang dapat diwariskan ke generasi sesudah kita, terejawantah dalam program riset yang terbuka dengan perubahan, terencana secara jangka-panjang, serta terlembaga dalam sistem “mentorship” yang hangat. Dalam tradisi Barat, ini terejawantah dalam Graduate School yang isinya adalah training bukan hanya yang bersifat klasikal, tetapi juga mentorship dengan 1-2 Supervisor. Dalam khasanah Islam klasik, ini terejawantah dalam model ijazat yang mengharuskan seorang santri untuk berguru pada ulama hingga ia dirasa pas untuk mengajarkan ilmu agama kepada Umat. Saya tidak berani berspekulasi apakah tradisi intelektual di Barat ini juga mengadopsi tradisi Islam klasik (tentu saja ini mungkin, mengingat akar ‘pencerahan’ Barat di abad renaisans juga mencakup penerjemahan teks-teks Islam di Andalusia dan Ottoman), tetapi yang jelas ada paralelitas di antara keduanya.

Di sini, artinya, aktivitas akademik bukan hanya mengajar-riset-proyek; ia sejatinya adalah “gerakan” juga, dimana proses belajar-mengajar-riset menjadi ruang artikulasi ide, gagasan, dan tradisi teoretis yang khas. Plus, ini yang juga penting: sanadnya bersambung dengan seorang “Guru” yang kapabel. Dalam khasanah Islam ada ulama. Dalam khasanah Barat modern ya artinya Profesor dan Supervisor. Ini berarti pendidikan, dan juga riset, adalah bagian dari gerakan intelektual yang lebih luas. Dan dari sinilah aktivitas riset, mengajar, atau apapun yang kita lakukan di kampus menjadi bermakna.

Mungkinkah, bagi peneliti dan ilmuwan sosial Indonesia, untuk membangun tradisi demikian di masa depan? Bagi generasi peneliti yang masih “bayi” seperti saya, jawaban atas problem semacam ini mungkin masih jauh dari pikiran (lha wong PhD saja baru mulai dan belum bisa menghasilkan apa-apa). Tapi mungkin di fase ini, kita bisa melempar satu pertanyaan reflektif, “kita mau menjadi generasi intelektual semacam apa, dan mau mendidik generasi seperti apa nantinya?”

Pertanyaan yg belum saatnya dijawab sekarang – tapi perlu dipikirkan, agar ilmu sosial kita juga punya momentum untuk mengalami renaisans-nya sendiri.

Insya Allah.

IMG_3513[1]
Random Post: Beberapa koleksi Studi Islam di University of Queensland: Ada beberapa koleksi Islam Indonesia di sini!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s