Tak terasa, 22 tahun sudah Keluarga Mahasiswa UGM mewarnai kehidupan mahasiswa UGM. Sistem yang digadang-gadangkan sebagai ‘student government’ ini -dengan segenap kekurangan dan keterbatasannya- menjadi sebuah ikhtiar yang dilakukan oleh mahasiswa UGM untuk mendobrak kejumudan yang dihasilkan oleh rezim pendidikan saat itu, Beragam momentum gerakan, konflik, krisis, dan transformasi dilalui. Sampai tulisan ini dirilis, 22 tahun sudah usia lembaga mahasiswa intrakampus di UGM ini dilalui.
Saya berkecimpung di BEM KM UGM sejak tahun 2008 hingga akhirnya mengakhiri karier sebagai Menteri Koordinator bidang Kebijakan Eksternal . Pada medio 2010-2011, saya dan beberapa rekan melakukan studi kecil-kecilan, diawali oleh keisengan untuk ‘membongkar’ sejarah organisasi yang saya tempati, yang akhirnya membawa kami pada beberapa pertemuan dengan beberapa senior serta alumni yang dulu sempat mendirikan organisasi ini. Tulisan ini adalah rangkuman beberapa hal terkait sejarah transformasi kelembagaan mahasiswa UGM yang sempat kami kumpulkan dari perbincangan-perbincangan dengan
PERIODE I: GENESIS (1955-1978)
Bicara soal keluarga mahasiswa UGM tak dapat dipisahkan dari sebuah entitas yang sempat menjadi salah satu kekuatan politik ‘menakutkan’ zaman Orde Baru: Dewan Mahasiswa (DM). Dewan Mahasiswa UGM dibentuk seiring dengan pembentukan Universitas, namun punya pasang-surut dan dinamika di dalamnya. Sebagai bagian tak terpisahkan dari Universitas, Dewan Mahasiswa pada awalnya menjadi salah satu ‘corong’ mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya, baik yang bersifat politis maupun non-politis.
Dalam sejarahnya, Dewan Mahasiswa UGM memiliki struktur kelembagaan yang sederhana namun sangat powerful. Dewan Mahasiswa bertipe ‘negara kesatuan’ (jika mengambil terminologi ilmu politik) dengan Dewan Mahasiswa Universitas sebagai entitas yang berdaulat dan Komisariat Dewan Mahasiswa di tingkat fakultas. Dewan Mahasiswa semuanya diisi oleh anggota yang telah dipilih dari masing-masing fakultas melalui pemilihan langsung. Pengambilan keputusan di Dewan Mahasiswa bersifat demokratis, dalam arti satu keputusan harus disetujui oleh lebih dari separuh jumlah anggota. Praktis, dinamika di dalam cukup dialektis namun secara kelembagaan legitimate dan powerful di kalangan mahasiswa. Yang menarik adalah masa kepengurusannya –baik Dewan Mahasiswa maupun Komisariat menjabat selama dua tahun.
Sejarah kelembagan mahasiswa UGM di era ini cukup sulit dilacak. Pada tahun 1955, Dewan Mahasiswa UGM di bawah pimpinan Koesnadi Hardjasoemantri (kelak menjadi Rektor UGM) dikenal sebagai pelopor Projek Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PPTM) yang mengirimkan mahasiswa UGM ke luar daerah. Tidak tanggung-tanggung, Koesnadi yang menjadi Sekretaris Jenderal dari program ini menghabiskan waktu dua tahun di Nusa Tenggara Timur. Ia kemudian membawa beberapa anak NTT untuk kuliah di UGM –salah satunya ialah Adrianus Mooy yang kemudian dikenal sebagai salah satu Menteri di era Orde Baru.
Program inilah yang menginspirasi Anies Baswedan (mantan Ketua Senat Mahasiswa UGM) untuk membuat program Indonesia Mengajar yang cukup terkenal. Koesnadi setelah itu menjadi Dosen Fakultas Hukum dan di kemudian hari menjabat Rektor UGM. Keberadaan Koesnadi menjadi cukup sentral pada saat kebangkitan kembali aktivitas organisasi kemahasiswaan UGM di tahun 1980an.
Suhu politik di Dewan Mahasiswa pada era ini diwarnai oleh pertarungan ideologi. Hal ini berimbas pada eksistensi Dewan Mahasiswa di era sesudahnhya. Pada era ini, gerakan mahasiswa punya afiliasi politik –HMI dengan Masyumi, GMNI dengan PNI, PMII dengan NU, dan CGMI dengan PKI. Menurut beberapa sumber, pada tahun 1960an (setelah era Koesnadi), Dewan Mahasiswa banyak diisi oleh aktivis CGMI dan GMNI. Bahkan, Ketua Umum CGMI terakhir, Gorma Hutajulu (mahasiswa Fakultas Teknik) adalah mantan fungsionaris Dewan Mahasiswa UGM. Dengan demikian, hawa gerakannya menjadi sangat kental dengan ideologi dan politik.
Era ini bertahan sampai tahun 1965 –ketika PKI jatuh dan aktivis PKI, bahkan sampai tingkat mahasiswa, ditangkap. Dewan Mahasiswa mengalami reorganisasi. Soetomo Parastho, mahasiswa Fakultas Kedokteran yang juga aktivis HMI, ditunjuk sebagai formatur. Pada tahun 1972, terpilih Beni Soediro (FISIPOL) sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UGM. Aktivitas Dewan Mahasiswa setelah era Beni Soediro (Marsanto di tahun 1974-196 dan Lukman F. Mokoginta di tahun 1976-1978) berjalan normal.
Menyusul tragedi Malari (15 Januari 1974) dan maraknya demonstrasi mahasiswa di kampus-kampus besar, Dewan Mahasiswa mengalami konfrontasi dengan rezim Orde Baru. Aktivitas Dewan Mahasiswa saat itu dianggap sangat politis. Rezim melakukan pendisiplinan dengan mengirimkan tentara ke kampus, tak terkecuali UGM. Pada waktu itu, Dewan Mahasiswa UGM dipimin oleh Alm. Lukman F. Mokoginta (Mahasiswa Fakultas Geografi). Demonstrasi mahasiswa di Gelanggang UGM tahun 1978 berakhir demonstrasi. Untuk mendisiplinkan mahasiswa pada waktu itu, pemerintah Orde Baru mengangkat Daoed Joesoef yang baru pulang dari Sorbonne sebagai Menteri Pendidikan & Kebudayaan, yang kemudian melakukan aksi represif: pembubaran Dewan Mahasiswa.
Dewan Mahasiswa UGM sendiri punya hubungan yang dinamis dengan rezim dan rektorat. Di tahun 1970an, Dewan Mahasiswa UGM punya sayap pers yang cukup vokal dan kritis terhadap pemerintah –Gelora Mahasiswa (Gema). Saur Hutabarat waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi GEMA dan menerbitkan satu edisi majalah yang fenomenal –GANTUNG SUKADJI! Sontak, Sukadji Ranuwiharjo yang saat itu menjadi Rektor UGM marah besar. GEMA dibredel dan hubungan antara Rektorat dan Dewan Mahasiswa memanas. Setelah tragedi ‘tentara masuk kampus’ di tahun 1978, yang akhirnya berujung pada penangkapan besar-besaran aktivis mahasiswa di UGM, Dewan Mahasiswa akhirnya dibekukan melalui keputusan Mendikbud.
Setelah dibubarkan, UGM mengalami kevakuman aktivisme internal pada medio 1980an. Badan-Badan yang ada di bawah Dewan Mahasiswa kemudian berubah fungsi menjadi UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Sebagai contoh, Divisi Kerohanian Dewan Mahasiswa berubah menjadi Jamaah Shalahuddin dan Divisi Pers Dewan Mahasiswa kemudian bertransformasi menjadi Balairung. Aset-aset Dewan Mahasiswa diambil alih oleh Universitas melalui Pembantu Rektor III. Gelanggang mahasiswa tetap hidup melalui aktivitas UKM tetapi tanpa aktivitas politik yang berarti.
Sementara itu, di tingkat fakultas, Komisariat Dewan Mahasiswa secara perlahan ditransformasikan menjadi Senat Mahasiswa. Berbeda dengan Kodema yang menjadi ‘mimbar politis’, Senat Mahasiswa fungsinya lebih banyak bersifat internal dan akademis. Rezim kemudian memfasilitasi terbentuknya Ikatan Senat Mahasiswa di tingkat nasional, sebagai ganti Majelis Mahasiswa (yang bubar menyusul runtuhnya Dewan Mahasiswa), seperti ISMKI (Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia), ISMAFARSI (Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi se-Indonesia), dll.
Dengan demikian, pada era ini, aktivitas mahasiswa UGM mengalami kevakuman politis. Inilah era ketika pergerakan mahasiswa di UGM, dan Indonesia secara keseluruhan, mengalami depolitisasi dan aktivitas mahasiswa dipaksa hanya berada di kampus. Periode ini kemudian dipecahkan oleh aktivis-aktivis Senat Mahasiswa generasi baru di pertengahan tahun 1980an yang mencoba menawarkan format baru organisasi kemahasiswaan di UGM.
bersambung